Sabtu, 16 Maret 2013

Ciri orang yang menghayati doa


Henri Nouven
Hidup orang-orang yang menghayati doa sebagai satu-satunya yang perlu, menunjukkan bahwa tiga "peraturan" selalu ditaati; membaca sabda Allah secara kontemplatif, mendengarkan suara Allah dalam keheningan, taat mempercayakan diri kepada seorang pembimbing rohani. Tanpa Kitab Suci, tanpa saat hening dan tanpa seorang pun yang mengarahkan kita, maka jalan kita menuju kepada Allah sangat berat dan bahkan tidak mungkin.
Pertama-tama, kita harus sungguh-sungguh memperhatikan sabda Alalh sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci. Santo Augustinus bertobat waktu dia menanggapi apa yang dikatakan oleh seorang anak: "Ambil dan bacalah, ambil dan bacalah".

Waktu dia mengambil Kitab Suci dan mulai membacanya adalah hal pertama yang harus kita kerjakan untuk membuka diri kita kepada panggilan Allah. Membaca Kitab Suci tidaklah semudah seperti kelihatannya karena lingkungan akademis kita membuat kita cenderung untuk membuat apa saja dan semua saja yang kita baca sebagai bahan analisis dan diskusi. Tetapi sabda Allah pertama-tama harus membawa kita kepada kontemplasi dan meditasi. Kita meresapnya; bukannya memikirkan apakah kita setuju atau tidak, tetapi menemukan manakah sabda yang langsung disabdakan kepada kita dan menghubungkannya dengan sejarah hidup pribadi kita. Bukannya berpikir bahwa sabda Allah itu dapat menjadi bahan yang menarik untuk dialog atau makalah, tetapi bersedia untuk membiarkan sabda merasuk ke dalam sudut-sudut hati kita yang paling tersembunyi, ke tempat yang belum pernah disentuh oleh sabda-sabda apa pun yang lain. Kalau demikian, dan hanya kalau demikian, sabda dapat menghasilkan buah sebagaimana benih yang ditaburkan dalam tanah yang subur. Hanya kalau demikian kita sungguh-sungguh dapat "mendengar dan mengerti" (Mat. 13.23)
Kedua, kita membutuhkan saat hening di hadirat Allah. Meskipun kita mau menjadikan seluruh waktu kita waktu bagi Allah, kita tidak akan pernah berhasil kalau kita tidak menyisihkan barang satu menit, satu jam, satu pagi, satu hari, satu minggu, satu bulan atau beberapa waktu saja bagi Allah, hanya bagi Dia. Hal seperti ini menuntut displin yang tinggi dan mengandung resiko karena tampaknya kita selalu mempunyai seusatu yang lebih mendesak untuk dikerjakan.

Sekadar "duduk" dan "tidak mengerjakan apa-apa" sering kali lebih menganggu kita daripada melegakan kita. Tetapi tidak ada jalan lain. Menjadi "tidak berguna" dan diam di hadirat Allah kita, merupakan unsur hakiki dari segala doa. Pada mulanya kita sering mendengar suara batin kita sendiri yang tidak tenang lebih keras dari suara Allah. Kadang-kadang hal semacam ini sangat sulit untuk dapat ditahan. Tetapi sedikit demi sedikit, dengan sangat pelan, kita menemukan bahwa saat hening membuat kita hening pula dan memperdalam kesadaran kita akan diri kita sendiri dan akan Allah. 

Lalu dengan cepat kita akan merasa kehilangan kalau kita tidak dapat menyediakan saat hening ini, dan sebelum kita sadar sepenuhnya akan hal itu, suatu kerinduan batin tumbuh dalam diri kita. Kerinduan batin itu mendorong kita secara lebih kuat untuk masuk ke dalam keheningan dan membawa kita lebih dekat ke titik di mana Allah berbicara kepada kita.

Membaca Kitab Suci secara kontemplatif dan saat hening di hadirat Allah saling berhubungan erat sekali... Sabda Allah mendorong kita untuk masuk ke dalam keheningan; keheningan membuat kita siap  mendengarkan sabda Allah. Sabda Allah menembus masuk melewati tembok tebal kegaduhan bicara manusia ke dalam pusat hati kita yang hening; keheningan membuka suatu ruangan di mana sabda dapat didengarkan. 

Tanpa membaca, sabda keheningan menjadi beku, dan tanpa keheningan sabda kehilangan daya ciptanya. Sabda mengarahkan kita kepada keheningan dan keheningan kepada sabda. Sabda lahir dalam keheningan dan keheningan adalah jawaban yang paling mendalam bagi sabda.

Namun sabda dan keheningan keduanya membutuhkan bimbingan. Bagaimana kita tahu bahwa kita tidak menipu diri kita sendiri, bahwa kita tidak sedang  mengucapkan kata-kata yang paling cocok dengan perasaan hati kita, bahwa kita tidak sedang mendengarkan suara dari khayalan-khayalan kita sendiri? Banyak orang mengutip Kitab Suci dan banyak pula sudah mendengar suara dan melihat penglihatan dalam keheningan, tetapi hanya sedikit orang telah menemukan jalannya menuju Allah.
Siapa yang dapat menjadi hakim dalam perkaranya sendiri? Siapa dapat menentukan apakah perasaaan dan pandangannya membawanya ke arah yang benar? Allah kita adalah lebih besar daripada hati dan budi kita sendiri. Dan kita sangat mudah tergoda untuk menyamakan keinginan hati kita dan rekaan pikiran kita dengan kehendak Allah. 

Oleh karena itu kita membutuhkan seorang pendamping, seorang pembimbing, yang menolong kita untuk membedakan suara Allah dengan suara-suara yang lain yang muncul dari hiruk-pikuk hidup kita sendiri atau dari kekuatan gelap yang berada di luar kekuasaan kita. Kita membutuhkan seseorang yang mendukung kita kalau kita ingin berhenti, melupakan semuanya dan lari dalam keputusasaan. Kita membutuhkan seseorang yang mengerem kita kalau kita melangkah terlalu tergesa-gesa ke arah yang tidak jelas atau berlari dengan kepala mendongak ke tujuan yang kabur. Kita membutuhkan seseorang yang dapat  memberi usul kepada kita kapan kita sebaiknya membaca, sebaiknya hening, sabda mana yang harus kita renungkan dan apa yang harus kita lakukan kalau keheningan menjadi menakutkan bukannya mendatangkan damai.

Reaksi pertama dan yang bisa dalam hubungan dengan pembimbing rohani ialah: "Pembimbing rohani sulit didapatkan". Mungkin hal ini betul, tetapi sekurang-kurangnya sebagian dari alasan kurangnya pembimbing rohnai ialah bahwa kita sendiri tidak tampil dan memberikan kesan kepada orang lain sedemikian rupa sehingga penampilan kita dankesan yang kita berikan mengundang mereka untuk menjadi pemimpin rohani kita. Kalau tidak ada murid yang terus menerus menuntut guru yang baik, maka tidak akan pernah ada guru yang baik. 

Hal yang sama, benar pula untuk pembimbing rohani. Ada begitu banyak orang, pria dan wanita, yang mempunyai kepekaan rohani yang besar tetapi kemampuan mereka itu tetap terpendam karena kita tidak minta tolong kepada mereka. Banyak orang kiranya akan menjadi bijaksana dan suci bagi kita seandainya kita mengundang mereka untuk mendampingi kita dalam usaha kita menemukan doa batin kita.
Seorang pembimbing rohani tidak harus lebih pandai atau berpengalaman daripada kita.Yang penting ialah bahwa dia menerima undangan kita untuk membawa kita lebih dekat kepada Allah dan bersama-sama kita masuk ke dalam Kitab Suci dan keheningan di mana Allah berbicara baik kepada dia maupun kita. 

Dengan demikian, Kitab Suci, keheningan dan pembimbing rohani adalah tiga petunjuk penting daam rangka usaha kita menemukan jalan yang paling pribadi untuk masuk ke dalam hubungan yang mesra dengan Allah. Kalau kita merenungkan Kitab Suci terus menerus, menyediakan waktu untuk hening di hadirat Allah dan mau mempercayakan pengalaman-pengalaman kita dalam hal sabda dan kehenignan itu kepada seorang pembimbing rohani, kita dapat menjaga diri kita dari bahaya berkembangnya ilusi-ilusi yang baru dan membuka jalan menuju doa batin.

(Dikutip dari Menggapai Kematangan Hidup Rohani karya Henri JM Nouven)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar