Jika
sejenak kita masuk dalam keheningan, diam dan tenggelam dalam tenang
yang tak bertepi, jauh sekali di kedalaman lubuk hati akan kita jumpai
sesuatu. Sesuatu itu adalah pribadi yang samar, namun jelas ada. Penuh
dengan misteri, namun nyata kehadirannya. Sesuatu itu merupakan sebuah
Pribadi yang agung dan mempesona, penuh kasih dan hangat seolah rindu
untuk selalu mendekat.
Dialah
Yesus yang hadir di relung-relung hati kita. Kehadiran-Nya begitu jelas
ada, namun begitu tak jelas pula untuk dilihat bagaikan sketsa. Jika
kita berdiri di depan cermin, adakah kita melihat Yesus di sana?
Jawabannya mungkin seringkali, “Tidak!” Padahal, Bapa menciptakan kita
menurut gambar-Nya. (bdk. Kej. 1:27) Dalam cermin itu, seringkali raut
muka kita tidak terlalu menggambarkan Yesus. Ada goresan sedih dan
kecewa di sana, raut cemas dan kuatir, hidung sombong yang terangkat
tinggi, atau pandang mata penuh curiga. Bukan wajah yang memancarkan
damai dan sukacita abadi, bukan wajah yang memancarkan kasih dan
kelembutan surgawi.
Jika
direnungkan, diri kita ini bagaikan figura dan Yesus sebagai
lukisannya. Semakin buram dan gelap kaca sebuah figura, semakin tak
dapat kita melihat lukisan di dalamnya. Yang terlihat hanyalah sang
figura belaka. Demikianlah semakin kita kuat dengan segala kedagingan
dan kelemahan kita, orang lain semakin sulit pula untuk menjumpai Yesus
dalam diri kita. Yesus tinggallah sebuah sketsa kasar yang tak jelas
bentuknya, yang tertutup oleh kaca gelap diri kita.
Lalu,
bagaimanakah caranya agar Sang Sketsa Agung itu tidak tinggal tetap
sketsa, tetapi sungguh nyata terlihat sebagai citra? Syaratnya hanyalah
satu. Sang figura harus membersihkan diri, semakin murni dari hari ke
hari, hingga akhirnya menjadi sebuah figura yang jernih sebening telaga.
Pada saat figura telah menjadi jernih, orang bukan lagi melihat
figuranya melainkan langsung kepada lukisan yang ada di dalamnya.
Demikianlah
kala kita sudah berusaha untuk mati terhadap diri sendiri, Pribadi
Kristus akan terpancar kuat dari dalam diri kita. Memang untuk mati
terhadap diri sendiri ini bukanlah hal yang mudah, menuntut perjuangan
yang tidak kecil. Akan tetapi, jika kita berhasil setia dalam perjuangan
rohani ini, akan tiba saatnya kita berseru bersama Santo Paulus:
“Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal. 2:20a)
Bagaimanakah
caranya untuk dapat mati terhadap diri sendiri ini? Caranya adalah
melatih diri untuk melakukan penyangkalan diri kecil-kecil, yang
tujuannya adalah tidak membiarkan diri kita dikuasai oleh segala hawa
nafsu dan kelemahan kita. Hawa nafsu ini bisa berupa kerakusan,
kemarahan, kesombongan, kekikiran, kecabulan, kemalasan, iri hati, dan
sebagainya.
Setiap kali tergoda untuk marah, kita berusaha untuk sabar.
Setiap kali tergoda untuk memiliki semua barang, kita berusaha untuk murah hati.
Setiap kali harga diri tersinggung, kita berusaha untuk rendah hati.
Setiap kali kemalasan melanda diri, kita berusaha untuk bangkit dengan semangat berkobar.
“Sangkallah
segala hawa nafsumu dan temukanlah apa yang menjadi kerinduan terdalam
di hatimu. Tahukah engkau bahwa kerinduan hati nuranimu merupakan
kerinduan Allah? Barangsiapa mati terhadap segalanya, akan hidup dalam
Segalanya” (St. Yohanes dari Salib)
Demikianlah
sebetulnya ada ribuan kesempatan dalam hari-hari kita, untuk melatih
penyangkalan diri. Orang yang tidak pernah melakukan penyangkalan diri,
berbuat sesuka hati dan semaunya, akan mendapati dirinya terdampar dalam
ketidakbahagiaan. Tiba-tiba ia temukan dirinya sudah menjadi korban
obat terlarang, terjerumus dalam pergaulan bebas, frustasi dengan
kehidupan, dan sebagainya. Sebaliknya, anehnya mereka yang tekun
berlatih dalam penyangkalan diri, akan mendapatkan adanya aliran
sukacita dan damai sejati di hatinya. Ternyata penyangkalan diri justru
membawa manusia kepada kebahagiaan. Tak heran, Yesus yang sangat
mencintai manusia dan menginginkan kita hidup bahagia bersabda, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24).
Jika
dilihat sepintas memang tampaknya seolah Yesus menghendaki kita
menderita karena harus memikul salib. Namun, telah nyatalah kini bahwa
setiap penyangkalan diri membawa kita kepada kebahagiaan, dan salib
kehidupan yang kita pikul dengan setia akan menghantar kita kepada
keselamatan. Mengapa demikian? Sebab, semakin kita mati terhadap diri
sendiri, semakin kita serupa dengan Kristus, dan semakin kita bersatu
dengan-Nya, sumber kebahagiaan kita. Pada saat kita sudah sungguh mati
terhadap diri sendiri itulah, Pribadi Yesus yang mempesona akan memancar
dari dalam diri kita begitu kuatnya.
Yesus
adalah hidup kita. Di dalam Yesus, Tuhan menawarkan diri-Nya sendiri
kepada kita secara tanpa batas. Yesus rela menjadi bayi yang lemah dan
rapuh sehingga Ia dapat merasakan juga semua kelemahan dan kerapuhan
kita. Yesus pernah hidup miskin dan bekerja keras sehingga Ia dapat
merasakan pula setiap kemiskinan dan keletihan kita. Yesus juga pernah
sedih dan menderita sehingga Ia dapat merasakan penderitaan dan
kesedihan yang sebesar apa pun yang mungkin dialami oleh manusia.
Yesus
hadir sebagai manusia agar kita dapat melihat Wajah Bapa. Kehadiran-Nya
sebagai manusia membuat kita dapat mendengarkan pengajaran-Nya tentang
Bapa dan Kerajaan-Nya, karena Tuhan datang mengajar manusia dengan
bahasa manusia pula lewat Pribadi Yesus. Dialah Sabda Allah yang hidup
bagi kita semua. Yesus hadir pula sebagai manusia agar kita dapat
mengikuti teladan-Nya yang lemah lembut dan rendah hati. Dan sungguh
menakjubkan, bahkan sampai kini Yesus masih hadir dalam rupa Sakramen
Mahakudus, agar kita dapat memandang-Nya, dan menerima Dia seutuhnya
dalam diri kita lewat komuni suci.
Persembahan
diri Yesus yang sehabis-habisnya untuk kita ini memberikan suatu
kepenuhan dan kebahagiaan dalam hidup kita. Dalam persatuan dengan
Yesus, kita menemukan kekuatan untuk merealisasikan kepenuhan hidup kita
dan seluruh kapasitas serta potensi yang ada di dalam diri kita.
Dan
lebih dari itu. Anugerah Allah membuka bagi kita suatu horison yang
teramat besar dari seluruh potensi keberadaan kita. Kita disadarkan
betapa luhurnya martabat yang Allah berikan kepada kita sebagai
anak-anak-Nya. Tuhan menawarkan itu semua untuk mengundang kita beranjak
dari keterbatasan kemanusiaan kita memasuki dunia ilahi. Dalam
kehidupan ilahi ini kita diundang untuk meninggalkan segala sesuatu yang
kita miliki dan menyandarkan diri sepenuhnya hanya kepada Dia.
Tentu
saja, kehidupan yang adikodrati ini hanya bisa dijalani dengan cara
yang adikodrati pula. Dan untuk dapat menapaki hidup secara adikodrati,
dibutuhkan peranan Roh Kudus dalam diri kita. Contoh yang paling nyata
adalah para rasul sendiri. Sebelum Pentakosta mereka begitu takut dan
sembunyi di loteng. Namun, sesudah Pentakosta, dengan gagah berani
mereka mewartakan Kerajaan Allah dan membawa pertobatan di mana-mana.
Oleh
karena itu, langkah pertama untuk mati terhadap diri sendiri adalah
membiarkan Roh Kudus bekerja dalam hidup kita. Ini menuntut suatu
langkah keterbukaan hati untuk dapat menerima karya Allah dalam Roh
Kudus sehingga Yesus dapat sungguh-sungguh menjadi pusat hidup kita. Dan
gerbang yang menghantar kita berjumpa dengan Roh Kudus tidak lain
adalah doa.
Dalam
terang doa kita mencoba untuk melangkahi kehidupan ini dengan bimbingan
Roh Kudus. Roh Kuduslah yang menerangi kita, sehingga kita dengan jeli
dapat mengenali setiap kelemahan diri yang menjauhkan kita dari
keserupaan dengan Kristus. Roh Kudus pulalah yang akan memberikan
kekuatan kepada kita untuk mati dan sekali lagi berusaha untuk mati
terhadap diri sendiri.
Setiap
langkah doa hendaknya mengarah kepada doa mistik, yaitu kepada
kehidupan ilahi, kepada persatuan yang mesra dengan Allah di dalam
Yesus. Inilah mistik yang sejati: menghayati kehidupan Allah, hidup
dalam persatuan mesra dengan Yesus, menyerahkan diri seutuhnya kepada
Dia di dalam segala aspek kehidupan ini, dan menyatukan setiap kehendak
pribadi dengan kehendak Allah.
Dalam
hal ini, doa mistik merupakan panggilan bagi semua orang. Tuhan sangat
merindukan untuk memberikan diri-Nya sendiri seutuhnya kepada semua
orang, bukan hanya kepada orang-orang tertentu saja. Tuhan rindu untuk
mengundang semua orang mengambil bagian dalam hidup ilahi-Nya, dalam
alam ilahi-Nya. Sesungguhnyalah Tuhan menjadi manusia untuk ini, “Lihat,
Aku berdiri di muka pintu dan mengetok; jikalau ada orang yang
mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya
dan Aku makan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku.” (Why. 3:20)
Oleh
karena itu, bangkitlah semuanya! Bukalah pintu hati kita dan biarkan
Roh Kudus masuk dan meraja di dalam hati kita. Roh Kudus akan membakar
setiap kelemahan dan cacat cela kita, memurnikan kita, sehingga akhirnya
kita dibawa untuk semakin serupa dengan Kristus, semakin bersatu dengan
Kristus.
Dengan
Pribadi Yesus yang terpancar kuat dari dalam diri, kita akan dapat
semakin menghantar banyak orang untuk mengenal dan mencintai Yesus.
Dengan demikian, hidup kita bukan menjadi milik kita lagi, tetapi
menjadi pujian bagi kemuliaan-Nya.
“Jalan
menuju kesempurnaan tidak terletak pada berapa banyak kita melakukan
meditasi atau latihan-latihan kebajikan, walaupun semua itu sangat perlu
bagi mereka yang baru memulai hidup rohani. Akan tetapi, kesempurnaan
itu tergantung pada satu hal, yaitu penyerahan diri jiwa dan raga,
dengan merangkul setiap penderitaan yang datang dan mati terhadap diri
sendiri dalam segala hal.” (St. Yohanes dari Salib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar