(Kesaksian Pdt. KL Phan)
"Anak-anak, pada waktu kamu jalan pulang
ke rumah, hendaklah menaati peraturan lalu lintas, agar selamat sampai
di rumah." Demikianlah pesan dari kepala sekolah menjelang murid-murid
pulang sekolah. Usai kepala sekolah memberi pesan, murid-murid bergegas
meninggalkan sekolah untuk pulang ke rumah. Ada sebagian murid dijemput
oleh orang tuanya, ada yang dijemput oleh pelayan, ada yang pulang sendiri.
Sekolah yang semula ramai dengan murid-murid sekarang menjadi sepi. Di
sekolah yang cukup besar itu, sekarang hanya tertinggal aku seorang diri.
Bukannya aku tidak bisa pulang tanpa dijemput, tapi aku merasa enggan untuk
pulang karena di rumah pasti aku akan mendengar suara pertengkaran yang
tak putus-putusnya dari kedua orang tuaku. Waktu terus berjalan, matahari
mulai condong ke barat, langit sudah mulai gelap. Dengan perasaan tidak
menentu, aku melangkahkan kaki menuju ke rumah.
Seperti yang aku duga, tidak jauh dari rumah,
sudah kudengar suara yang tinggi dan keras dari ayah dan ibuku. Mereka
bertengkar lagi, kelihatan keduanya tidak mau mengalah. Waktu aku melangkah
masuk ke rumah, aku melihat ibu dengan muka merah padam meninggalkan rumah.
Ia pergi ke rumah tante, di sebelah rumah untuk berjudi. Aku melihat ayah
duduk termangu-mangu dengan muka yang tidak enak dipandang. Aku mengeluh,
karena seperti biasa, usai bertengkar, ibu tidak akan memedulikan makan
malam kami. Aku pun harus melewati malam itu dengan perut kosong lagi.
Sebenarnya aku lebih bersimpati pada keadaan
ayahku. Pada waktu di daratan, keluarga kami serba berkecukupan, tapi dengan
perubahan politik yang terjadi di daratan Tiongkok, terpaksa kami sekeluarga
mengungsi ke Taiwan dan keadaan ekonomi keluarga mengalami krisis yang
cukup gawat. Ayah sangat sulit mendapat pekerjaan. Meskipun kemudian ia
mendapat pekerjaan sebagai pegawai, tapi honornya minim dan tidak mencukupi
kebutuhan keluarga. Sikap ibu yang tidak mau mengerti membuat ayah sangat
frustrasi.
Namun, Tuhan menyatakan jalannya pada keluarga
kami. Tidak berapa jauh dari rumah kami, datang beberapa misionaris Barat.
Para misionaris ini bersikap baik dan ramah terhadap kami. Hati ayah tertarik
pada keramahtamahan mereka, dan untuk melepaskan diri dari keruwetan rumah
tangga, setiap usai bertugas ia pasti ke rumah para misionaris untuk mengikuti
pelajaran bahasa Inggris dan pendalaman Alkitab. Tidak disangka-sangka,
ayahku mengambil keputusan untuk percaya Tuhan Yesus dan menerima baptisan.
Keputusan yang di luar dugaan ini menimbulkan kejutan yang luar biasa dalam
keluarga.
Sejak percaya Yesus, kehidupan ayah berubah.
Ia tidak bersikap pesimis, tidak khawatir menghadapi kehidupan, dan wajahnya
selalu menunjukkan kecerahan. Di samping mengerjakan pekerjaannya, ia mulai
aktif mengikuti pelayanan di gereja, hidupnya sekarang penuh arti. Sikap
yang acuh tak acuh terhadap anak-anak berubah menjadi penuh perhatian dan
kehangatan. Yang terpenting sekarang adalah perubahan bahwa ayah tidak
lagi bertengkar dengan ibu. Perubahan yang luar biasa ini membuat ibu keheranan
dan ia tidak mengerti kuasa apa yang mengakibatkan si suami berubah sampai
180 derajat. Perasaan ingin tahu menyebabkan ibu pergi ke gereja. Tidak
berapa lama, ibu juga mengambil keputusan untuk percaya Tuhan dan menerima
baptisan.
Sekarang keluargaku mengalami perubahan yang
mengherankan. Ibu tidak lagi pergi ke rumah tante sebelah untuk berjudi,
tidak lagi bertengkar dengan ayah. Ia mulai menunaikan kewajiban sebagai
ibu rumah tangga, hubungannya dengan ayah makin hari makin baik. Keluargaku
sekarang menjadi keluarga yang harmonis dan bahagia. Aku yang masih kecil
terheran-heran melihat hubungan yang tidak harmonis dan kurangnya cinta
kasih dari sepasang suami istri kemudian berubah menjadi begitu hangat
oleh cinta kasih. Aku melihat kuasa dari iman Kristen itu, sehingga mendorong
hati kecilku untuk mengetahui keyakinan Kristen tersebut. Dorongan itu
membuat aku mulai mengikuti sekolah minggu. Persekutuan yang indah dengan
sesama anak Kristen membuat hatiku dipenuhi oleh sukacita dan kedamaian.
Setelah mengikuti 1 tahun, aku pun menerima baptisan kudus.
Kemudian ayah mengambil keputusan untuk meninggalkan
pekerjaannya dan masuk ke sekolah teologi untuk sepenuhnya melayani Tuhan.
Meskipun kehidupan sebagai hamba Tuhan serba minim, tapi kami lalui semua
itu dengan hati yang penuh sukacita. Pada waktu aku SMA, baik pelajaranku
maupun aktivitasku di sekolah sangat baik. Dengan tidak menghadapi banyak
kesulitan, aku menyelesaikan SMA dan masuk ke perguruan tinggi di bidang
kehutanan dan militer. Oleh karena keadaan ekonomi keluarga yang serba
terbatas, maka aku mengambil keputusan untuk belajar di bidang kemiliteran
saja. Tapi tidak disangka-sangka, seorang misionaris yang tidak begitu
aku kenal rela menyisihkan honornya selama 3 bulan untuk mencukupi kebutuhan
semester pertama dari kuliahku. Perhatian dan kasih misionaris ini menggugah
perasaanku. Agar tidak mau mengecewakan perhatian orang lain terhadapku,
maka selama kuliah aku sungguh-sungguh bergumul dengan buku-buku dan di
samping itu aku juga rajin mengikuti persekutuan pemuda serta melayani
Tuhan di gereja. Di dalam persekutuan ini, aku mengenal seorang gadis yang
bernama S.L. Liong, yang kemudian menjadi istriku.
Dia adalah mahasiswi jurusan sastra Mandarin.
Kami mengikuti kebaktian di Gereja Baptis Taichung. Bersama-sama kami melayani,
kami pun bergairah menuntut kebenaran, dan setelah diwisuda kami menikah.
Setelah menikah, aku ditugaskan sebagai pelatih di lapangan kemiliteran.
Lalu 1 tahun kemudian, aku diangkat sebagai asisten dosen. Istriku mengajar
pada sebuah sekolah menengah pertama untuk putri. Pada masa-masa ini, perasaan
untuk mempersembahkan diri makin kuat. Oleh karena itu, setelah 3 tahun
lamanya bekerja sebagai asisten dosen, aku meletakkan jabatan dan masuk
sekolah teologi.
Awalnya, aku mengira cita-citaku untuk menjadi
hamba Tuhan yang sepenuh hati melayani Tuhan akan segera tercapai. Tapi
menjelang diwisuda aku jatuh sakit beberapa kali. Hasil diagnosa dokter
terhadap penyakitku saling bertolak belakang, tapi akhirnya dapat diketahui
penyakitku yang sesungguhnya, yaitu kanker! Berita ini bagaikan halilintar
pada siang bolong dan aku tidak dapat melukiskan bagaimana perasaanku.
Istriku tidak habis mengerti dan tidak percaya aku menderita kanker! Bagaimana
bisa Aku yang dikenal selama ini bertubuh sehat, tidak pernah sakit, dan
dijuluki "saudara gajah" karena kesehatan tubuhku, menderita
kanker? Apalagi usiaku baru menginjak 30 tahun. Bukankah usia 30 adalah
masa keemasan bagi seorang pria? Tapi mengapa pada masa-masa kejayaan ini,
aku harus menghadapi penyakit yang membawa maut?
Setelah keadaanku diketahui orang banyak,
maka mulailah orang-orang yang berada di sekelilingku menaruh perasaan
iba. Dokter sering bertanya, "Berapa usiamu?" "Apakah sudah
beristri?" "Apakah sudah memunyai anak?" Teman-teman yang
berkunjung juga berusaha menghibur dengan mengatakan, "Wah, tidak
mungkin kamu menderita kanker!" "Mungkin diagnosa dokter keliru!"
Setelah melalui penelitian yang cermat, maka
diputuskan bahwa aku harus menjalani operasi dan paru-paru kiriku harus
diangkat seluruhnya. Untuk keperluan operasi tersebut, maka aku harus ke
rumah sakit pusat di Taipei. Dalam hari-hari menunggu waktu operasi, aku
bersama istri terus berdoa dan memohon agar Tuhan memberi ketabahan dan
kekuatan menghadapi ujian ini dengan berani. Keadaanku sekarang bagaikan
perajurit di medan laga yang setiap waktu akan mati terkena sasaran peluru.
Dalam situasi yang demikian ini, harapanku hanya satu, yaitu bersandar
pada Tuhan. Operasi berjalan lancar dan sukses. Setelah beristirahat selama
2 minggu, dokter memberitahu bahwa aku boleh pulang tapi dengan catatan
agar memeriksakan diri secara teratur. Lima tahun setelah operasi, aku
menjadi Pendeta Gereja Baptis di Taichung. Keadaan kesehatanku makin hari
makin baik. Aku melewati kehidupan seperti orang pada umumnya dan aku dikaruniakan
seorang anak perempuan.
Kemudian aku menerima undangan sebuah gereja
di Los Angeles, dengan pertimbangan di samping melayani aku dapat melanjutkan
studi di bidang psikologi dengan harapan mata kuliah ini akan menopang
pelayananku lebih lanjut. Namun, belum 1 tahun di Amerika, aku mulai merasa
tubuhku kurang enak. Setelah diperiksa dokter, ditemukan sel-sel kanker
sudah menyebar sampai ke tulang-tulangku. Aku tidak menyangka perawatan
secara teratur itu tidak dapat mencegah penyebaran sel-sel kanker.
Sejak terkena kanker, aku banyak mempelajari
tentang penyakit tersebut. Sebab itu aku tahu, kanker yang kembali mengganas
itu sangat sulit disembuhkan. Keadaan tubuhku kali ini membuatku kuatir
dan takut. Mengingat waktuku di dunia tidak lama, ingin rasanya aku mempergunakan
setiap menit dengan baik. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke Taiwan.
Setelah kembali, aku sekali lagi memeriksakan diri dan dokter menemukan
seluruh organ tubuh tidak ada yang benar. Aku bertanya pada dokter tentang
cara pengobatannya. Dokter bukan saja tidak menjawab pertanyaanku, ia bahkan
bertanya, apakah aku merasa sakit? Dan aku menjawab, tidak!
Dokter mengatakan, jika aku tidak merasa
sakit, tidak apa-apa. Namun, aku harus datang menemui dokter jika kemudian
aku merasakan sakit. Aku bertanya lebih lanjut, jika aku sakit dan datang,
bagaimana cara dokter mengobatinya? Jawabnya melalui suntikan berantai.
Aku bertanya tentang kemungkinan mendapat kesembuhan, dijawab dengan kata
"tidak tahu". Ternyata dokter tidak memunyai kesanggupan untuk
mengatasi penyakitku. Jika dibandingkan dengan 6 tahun yang lalu, keadaan
penyakitku makin parah, malaikat maut makin hari makin dekat untuk menyambutku.
Aku bersyukur dengan bersandar pada keyakinan
kepada Tuhan. Dengan tabah aku menghadapi kematian. Bukan saja demikian,
aku masih dapat menghibur istriku. Jika aku tidak memunyai Tuhan, aku tidak
akan demikian tabah menghadapi maut. Tanpa Tuhan, aku akan sama seperti
penderita kanker lainnya; akan gusar, gelisah, mengutuki, dan menyesali
nasib diri yang malang. Dalam keadaan sakit, aku diundang untuk menjabat
wakil pendeta di sebuah universitas. Keadaanku pada waktu itu makin parah,
tapi orang-orang yang melihatku menjadi heran karena melihat aku seperti
kebanyakan orang -- bertugas dengan baik di sekolah maupun di gereja. Yang
lebih mengherankan mereka adalah aku menunaikan semua kewajibanku dengan
muka penuh sukacita dan damai.
Aku teringat 2 tahun yang lalu, aku pernah
masuk ke rumah sakit dan bersiap-siap untuk dioperasi guna membuang benjolan
akibat sel kanker ganas di kepalaku. Sebelum masuk rumah sakit, sel kanker
yang terus menyebar menyebabkan aku sulit menggerakkan tubuhku.
Sampai-sampai, aku tidak berdaya untuk memakai
sepatu. Kondisi tubuhku tidak menentu, aku kehilangan nafsu makanku. Berat
tubuhku makin hari makin menurun. Pada mulanya aku ragu-ragu terhadap operasi
kali ini karena ada dokter yang mengatakan bahwa sel kanker akan menjadi
lebih ganas jika dipotong, tapi ada juga yang mengatakan bahwa jika tidak
dibuang, maka tumor tersebut makin hari akan makin besar. Dalam keadaan
bimbang, aku sulit untuk menentukan sikap antara operasi dan tidak.
Setelah berdoa cukup lama dengan istri dan
dengan pertimbangan yang matang, akhirnya keragu-raguanku lenyap dan memutuskan
untuk membuang tumor ganas di kepalaku. Selama di rumah sakit, istri dengan
setia mendampingi aku, membacakan firman Tuhan bagiku, bersama-sama dalam
doa. Dalam penderitaan ini, perasaan kami berdua makin erat. Tidak jauh
dari tempat tidurku, berbaring seorang yang sama dengan aku, menderita
kanker. Aku sering mendekati dan bercakap-cakap dengannya. Aku memerhatikan,
mendoakan, dan membagi-bagikan keadaanku dalam menghadapi ketakutan akibat
kanker.
Tanpa kusadari, selama menderita sakit ini,
hatiku lebih dekat pada Tuhan, lebih bersandar pada-Nya. Aku tidak tahu
apa yang akan terjadi esok? Tapi yang kutahu adalah perasaan damai sejantera
dan beriman dalam menghadapi hari-hari yang kelam ini. Pada waktu hari
yang ditentukan sudah tiba, dengan perasaan mantap tanpa takut aku memasuki
kamar operasi. Tatkala aku melihat seorang penderita jantung dalam keadaan
takut dan kuatir, aku masih menyempatkan diri untuk menghiburnya.
Memang benar, Allah kekuatanku. Beberapa
hari setelah operasi, aku menemukan bahwa kakiku yang semula tidak bisa
digerakkan, sudah dapat bergerak seperti biasa. Karena gembiranya, aku
tidak dapat berkata-kata, hanya air mataku saja yang mengalir keluar. Aku
sungguh bersyukur untuk anugerah dan kasih Tuhan. Dokter heran dengan keadaanku.
Badan setinggi 180 cm, hanya mempunyai berat badan 48 kg, masih memunyai
semangat segar untuk bekerja. Sampai saat ini, aku tidak mengetahui berapa
lama masih dapat bertahan. Tapi aku mengetahui bahwa nilai kehidupan manusia
bukan terletak pada panjang atau pendeknya umur manusia, melainkan terletak
pada isinya. Terhadap penyakit kanker, aku akan lebih gigih menghadapinya.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok, tapi aku berkeyakinan dengan
berharap dan bersandar pada-Nya, aku tidak takut menghadapi kematian.
Catatan tambahan:
Pendeta K.L. Phan akhirnya meninggal dunia
dan kembali pada Tuhan yang menciptakannya, tapi kesaksian dalam menghadapi
kematian membuat orang merasa kagum. (Diambil dan disunting seperlunya
dari:/ Judul buku: Jalan Tuhan Terindah/ Penulis: Pdt. Paulus Daun, M.Div.,
Th.M./ Penerbit: Yayasan Daun Family, Manado 1996/ Halaman: 19-27/i-kan-kisah)
* * * * *
Jagalah hatimu dengan segala
kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan. (Mazmur 4:23)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar