Jumat, 01 Maret 2013

OEI HUI LAN, WANITA SEMARANG YANG MENDUNIA



KabariNews.com - Dari namanya yang terdengar asing di telinga, Oei Hui Lan memang tidak setenar nama Bapaknya.  Oei Hui Lan adalah putri kedua Raja Gula Semarang, Oei Tiong Ham, dari istri pertamanya.

Hui Lan dalam bukunya yang berjudul "No Feast Last Forever" atau "Tak Ada Pesta yang Tak Berakhir" menulis perjalanan hidupnya yang penuh intrik dan liku-liku. Dari mulai perselisihan diantara anak-anak Oei Tiong Ham, sampai pernikahannya dengan Wellington Koo, tokoh pergerakan negara RRC.

Buku ini menjelaskan bagaimana Hui Lan kecil dengan mudah bisa memperoleh apapun yang dia mau karena kekayaan Bapaknya.

Tapi sebelumnya, ada baiknya menyinggung sedikit tentang sepak terjang bisnis Oei Tiong Ham di Hindia Belanda. Karena sosok sukses Oei Tiong Ham amat berpengaruh pada periode kehidupan Hui Lan selanjutnya.

Raja Gula Dari Semarang  

Oei Tiong Ham lahir pada tanggal 19 November 1866 di Semarang. Ayahnya, Oei Tjie-sien berasal dari daerah Tong An, Fujian, China. Menurut penuturan Hui Lan dalam bukunya, kakeknya adalah orang terpelajar dan gemar berpetualang. Tjie-sien terlibat pemberontakan Taiping dan jadi buronan pemerintahan Mancu.

Tjie-sien lalu kabur ke luar China. Setelah berlayar berbulan-bulan, Tjie-sien tiba di kota Semarang, Jawa Tengah, tanpa uang sepeser pun. Hanya bermodal tubuh mudanya, awalnya Tjie-sien bekerja di Pelabuhan, lalu berjualan barang kelontong dan beras. Setiap hari dia berkeliling kampung menjajakan dagangannya.

Kemudian Tjie-sien menikah dengan anak dari salah satu pedagang China di Semarang. Mereka dikarunia tiga putera dan empat puteri. Sebetulnya Oei Tiong Ham  anak kedua, tapi karena anak pertama meninggal waktu masih kecil, Oei Tiong Ham dikenalkan sebagai anak sulung oleh Tjie-sien ketika mereka berkunjung ke rumah orang tua Tjie-sein di China. Saat itu usia Oei Tiong Ham baru tujuh tahun.

Di Semarang bisnis Tjie-sien semakin berkembang, terutama bisnis berasnya. Selain itu, Tjie-sien juga berbisnis dupa dan gambir.  Karena perkembangan bisnis melaju,  Tjie -sien membuka kongsi dagang bernama "Kian Gwan".

Oei Tiong Ham amat menggemari wayang Po-te-hi. Sewaktu kecil, Oei Tiong Ham bersama temannya ingin sekali menonton wayang potehi di Kelenteng Tay Kak Sie, gang Lombok, Semarang. Saking terburu-buru takut ketinggalan pertunjukan, temannya itu tak sengaja menyenggol angkringan (tempat dagangan) seorang pedagang.

Pedagang itu marah dan meminta ganti rugi kepada temannya. Temannya menjadi ketakutan. Oei Tiong Ham lalu berkata kepada pedagang itu, "Jangan paksa teman saya untuk membayar, nanti saya yang mengganti kerugian itu." kata Oei Tiong Ham.

Oei Tiong Ham lalu mengajak pedagang tersebut kerumahnya. Setelah dijelaskan duduk perkaranya, Ayahnya, Tjie-sien, tak setuju "Kenapa kita yang mesti ganti, bukankah anak itu yang punya salah?"

Tapi Oei Tiong Ham berkata, "Oleh karena yang ajak nonton wayang adalah saya, maka sayalah akan pikul itu resiko. Lagipula kita lebih mampu dari sobat saya itu." kata Oei Tiong Ham lugas. Mendengar jawaban anaknya yang cukup cerdas, akhirnya Tjie-sien mengganti kerugian si pedagang.

Beberapa lama kemudian bisnis keluarga Tjie-sien yang dipegang Oei Tiong Ham semakin hari semakin besar. Kongsi dagang itu diubah namanya oleh Oei Tiong Ham menjadi Oei Tiong Ham Concern.

Semasa menjadi pengusaha, di kalangan pengusaha Tionghoa Oei Tiong Ham dikenal dermawan.  Tahun 1915 ketika kaum pergerakan Tionghoa di Semarang yang peduli terhadap kehidupan masyarakat Tionghoa seperti Siek Djwee Kioe, Oei Ik Tjoe, Kwik Djoen Eng, Liem Bwan Tjioe, The Tjoen Hway bermaksud mendirikan Tiong Hak, atau sekolah menengah buat masyarakat Tionghoa di Semarang.

Mereka mendatangi Oei Tiong Ham dan mengemukakan ide mereka sekaligus meminta sokongan dana. Oei Tiong Ham disodori nama-nama yang sudah menyumbang diantaranya :
1. Oei Ik Tjoe (f 15.000)
2. The Pik Hong (f 15.000)
3. Gan Kang Sioe (f 15.000)
4. Siek Djwee Kioe (f 6.000)
5. The Tjoen Hway (f 3.000)
6. Liem Bwan Tjioe (f 1.000)

Ketika Oei Tiong Ham sudah menulis angka f 20.000,  Siek Djwan Kioe mengatakan dia berharap Oei Tiong Ham bisa memberi lebih. Sambil tersenyum Oei Tiong Ham kemudian merubah angka 2  itu menjadi  3.

Oei Tiong Ham juga dikenal gemar hidup glamour atau bermewah-mewah. Berbeda dengan ayahnya yang menganut pola hidup hemat. Soal hidup mewah, ayahnya pernah marah dengan Oei Tiong Ham, tapi Oei Tiong Ham balas berkata bahwa "Saya akan jauh lebih kaya dari papa."

Oei Tiong Ham memiliki instuisi bisnis yang hebat. Ia juga gemar berjudi. Dulu ia pernah ingin mati bunuh diri gara-gara kalah berjudi. Bukan soal kalah atau menangnya, melainkan uang judi yang kalah itu adalah uang bapaknya untuk membayar sewa   rumah. Oei Tiong Ham merasa malu amat sangat, sehingga dia memutuskan ingin menceburkan diri ke sebuah sungai di Semarang.

Untungnya pacarnya yang seorang janda, mau membantu meminjamkan uang f 10.000 gulden untuk mengganti kerugian akibat kalah judi.

Oei Tiong Ham terutama adalah yang pertama mengekspor hasil bumi dan perdagangan opium. Memasuki abad ke-20, bisnis Oei Tiong Ham Corcern semakin menggurita. Mulai dari bisnis gula, beras, tepung tapioka, gandum, bank, properti sampai perkapalan. Area bisnis Oei Tiong Ham juga mendunia, cabang-cabang perusahannya ada di mana-mana.

Di London, Bangkok, Singapura, Amsterdam, Calccutta, Shanghai, Hongkong, bahkan membuka perwakilan dagang di Wallstreet, New York.

Keberhasilan Oei Tiong Ham disebabkan oleh hubungannya yang baik dengan para penguasa kolonial Belanda. Selain itu ia pun adalah orang Tionghoa perantauan pertama yang mengenakan setelan pakaian barat.

Oei Tiong Ham juga dikenal flamboyan. Dengan uang berlimpah yang dimilikinya, dia bisa menikah dengan siapa saja yang dia mau. Kabarnya istrinya mencapai 18 orang dan anaknya 42 orang.  

Yang unik, menurut penuturan Hui Lan dalam bukunya, Oei Tiong Ham hanya mengakui putranya jika berkelingking bengkok. Kelingking bengkok diwariskan oleh ayah dari ayahnya.

Oei Tiong Ham meninggal dunia secara mendadak pada 3 Juni 1924 karena serangan jantung, dan ia meninggalkan harta yang jumlahnya sekitar 200 juta Gulden Belanda.

Kehidupan Oei Hui Lan kecil di bawah asuhan Oei Tiong Ham, benar-benar seperti putri raja. Apa yang dia mau selalu diberikan oleh ayahnya. Selain dimanja, dalam bukunya Hui Lan menulis,  ketika ayahnya sudah kaya raya dan mendapat gelar Majoor der Chinezen dari Pemerintah Belanda tahun 1901, Hui Lan juga sering diajak dalam perjalanan bisnis oleh ayahnya.

Ayahnya berpesan kepada sekretaris,"Belikan dia semua yang diinginkannya". Sikap Ayahnya yang begitu sayang padanya membuat Hui Lan terbiasa untuk diistimewakan. Hui Lan ingat, ketika di Belanda dia punya rumah boneka yang sangat indah.

Dia menulis :

"Tidak ada seorang anak Belanda pun yang memiliki rumah boneka seindah kepunyaan saya. Tingginya sedagu saya, dibeli Pietro di Eropa. Saya bisa merangkak masuk ke dalamnya. Perlengkapannya komplet dan penuh detail. Di kamar mandinya ada handuk yang serasi. Ranjangnya memakai per dan kasur. Dalam lemari pakaiannya bergantungan pakaian boneka boneka saya. Di dapurnya ada panci, alat penggoreng, garpu dan pisau.

Di belakang rumah kami ada kebun binatang, berisi kera, rusa, beruang, kasuari, dll. Kalau ayah kembali dari bepergian, ia selalu membawa hadiah untuk saya sepasang kuda poni, sepasang anjing chihuahua, boneka atau apa saja.

Umur saya belum tiga tahun ketika ibu mengalungkan bandulan intan 80 karat ke leher saya. Besar intan itu sekepalan tangan saya dan tentu saja menganggu gerak gerik dan bahkan menyakitkan saya. Namun ibu tidak perduli. Suatu hari ketika pengasuh memandikan saya, ibu melihat dada saya luka akibat intan itu. Barulah ibu melepaskannya Sampai buku ini ditulis. Intan itu masih saya miliki, tersimpan di sebuah bank di London."

Hui Lan mengenal secara seksama bagaimana karakter ayahnya. Selain karena anak dari istri pertama yang disayang. Ayahnya tidak dekat dengan Tjo Lan kakak Hui Lan. Jadi boleh dibilang pada masa awal-awal kejayaan kerajaan bisnis Oei Tiong Ham, hanya Hui Lan anak yang dekat Oei Tiong Ham.

Hui Lan paham betul bagaimana karakter ayahnya. Saat ikut ke Penang, Malaysia, Hui Lan yang ketika itu di dalam kapal menunggu ayahnya yang sedang di darat, didatangi oleh pria lanjut usia. Orang itu menyerahkan sekotak uang emas kepada Hui Lan sambil membungkukkan badan. Hui Lan tahu isi kotak itu adalah uang yang nilainya sekitar 200.000 poundsterling, tapi dia tak tahu apa maksudnya.

Hui Lan mengira mainan. Lalu saat sedang memainkannya, ayahnya bertanya darimana Hui Lan mendapatkan uang-uang itu. Mendengar jawaban Hui Lan, Oei Tiong Ham langsung menyuruh pembantunya untuk mengembalikannya.

Rupanya pria lanjut usia yang naik ke kapal itu bermaksud menyogok Oei Tiong Ham dengan memberi hadiah kepada anak kesayangannya. Menurut Hui Lan, Ayahnya pantang disogok, padahal dia sering menyogok pejabat pejabat Belanda supaya usahanya lancar.

Oei Tiong Ham juga tidak percaya dengan kegunaaan pengawal pribadi. Dia punya cara sendiri untuk melindungi keluarganya dan bisnisnya. Yaitu dengan memberi sejumlah uang kepada kelompok bandit yang paling berpengaruh setiap tahun untuk menangkal gangguan keamanan. Usahanya berhasil keluarga Oei Tiong Ham merupakan satu-satunya keluarga Tionghoa yang tinggal di luar pecinan.

Suatu ketika Oei Tiong Ham pernah melihat seorang anak Tionghoa diolok-olok anak-anak Belanda seusai pulang sekolah. Dia lalu turun dari kereta dan mendatangi anak yang tubuhnya paling besar diantara anak-anak Belanda itu.

Dia berkata, "Kelihatannya kamu orang pemimpin mereka," kepada anak yang paling besar itu.  Lalu sambil memberikan sekeping uang emas kepadanya, Oei Tiong Ham kembali berkata, "Tolong urus mereka."

Tentang Ibunya

Ibu Hui Lan bernama Bing Nio. Dalam bahasa Inggris artinya kira-kira Victoria. Bing Nio adalah istri pertama Oei Tiong Ham. Dia berasal dari keluarga Goei, nenek moyangnya berasal Shantung. Ibunya punya lima anak perempuan dan empat anak lelaki. Semua anak perempuannya cantik-cantik, tapi yang paling cantik Bing Nio.

Mendengar kecantikan Bing Nio, Ibunya Oei Tiong Ham tertarik mengambilnya menjadi menantu. Maka dia mengirimkan tandu keemasaan sebagai tanda lamaran kepada keluarga Goei. Dan keluarga Goei menerimanya.

Bing Nio tidak memberikan anak lelaki kepada Oei Tiong Ham, melainkan dua anak perempuan,  Tjong lan dan Hui Lan. Meski begitu, karena tradisi China yang kuat, Oei Tiong Ham tidak menceraikan Bing Nio. Sebaliknya memelihara banyak gundik, entah untuk kepuasan semata atau demi mendapat keturunan laki-laki.

Menurut Hui Lan, ayahnya termasuk bandot tapi tetap sayang dan baik terhadap Bing Nio, ibunya Hui Lan. Tidak terpikir olehnya untuk menceraikan Bing Nio yang tidak memberikan anak laki laki. Cuma saja ia terus menerus menambah gundik dan banyak di antara gundiknya itu yang memberinya anak laki laki.

Oei Tiong Ham juga selalu pulang ke rumah, tidak pernah tinggal dengan salah seorang gundiknya, sampai muncul seorang gundik bernama Lucy Ho dalam hidupnya.

Karena tidak mempunyai anak laki laki, Bing Nio terus menerus merasa dirinya memiliki kekurangan dan frustasi.

Ketika Hui Lan umur 12 tahun, suatu malam dia pernah melihat ibunya sedang menghitung uang di sebuah ruangan. Uang itu banyak dan bertumpuk tinggi.

Kepada Hui Lan, Bing Nio berkata sambil tersenyum, "Ayahmu pulang membawa sekoper uang. Aku mengambilnya sebagian. Ia tidak pernah menyadarinya."

Hui Lan heran mengapa ibunya tidak meminta saja, dia yakin ayah akan memberikannya. Mungkin ibu tidak mau ayah tahu untuk apa uang itu. Pada masa itu memang Hui Lan dan Ibunya jarang membawa uang. Kalau menginginkan sesuatu, mereka tinggal mengambilnya saja di toko dan pemilik toko akan menagihnya kepada Oei Tiong Ham.

Ibu Hui Lan lahir pada tahun Naga, sebetulnya tak cocok dengan Oei Tiong Ham yang lahir tahun harimau. Karena sama-sana keras kepala.

Namun Bing Nio senang dengan predikat istri sah. Di luar rumah ia dianggap tokoh penting. Kalau pergi menonton sandiwara, para pemain berlutut di hadapannya seusai pertunjukan. Lantas Bing Nio akan memberikan tip yang besar sekali.

Seperti dikutip dalam buku Hui Lan, kalau pulang bertamu dari rumah nyonya Belanda, sering bajunya cuma disemat dengan peniti biasa, karena penitinya yang bertaburkan permata ia hadiahkan kepada nyonya rumah yang mengagumi perhiasannya itu. Dan Oei Tiong Ham pasti akan membelikannya yang baru.

Bagaimana hubungan Hui Lan dengan saudara-saudara dari lain ibu ?

Hui Lan sedikitnya punya 42 orang saudara. Hui Lan tak begitu mengenal dekat mereka, selain Tjo Lan kakaknya,  dan dua saudara lain ibu, Tjong Hauw dan Tjong Swan. Demikian juga dengan saudara dari ibunya.

Seorang saudara perempuan ibunya menikah dengan seorang pria yang cukup berada, tetapi tidak dikaruniai anak. Bibinya Hui Lan itu mengangkat dua anak perempuan dari saudara suaminya.

Beberapa tahun kemudian kedua anak angkatnya itu menjadi gundik Oei Tiong Ham. Yang paling tua cuma bertahan sebentar kemudian kabur bersama sopirnya yang pribumi  Sementara adiknya yang berwajah tak begitu cantik tapi memiliki tubuh yang indah dan pintar bernama Lucy Ho sanggup bertahan. Kelak Lucy Ho ini yang menemani Oei Tiong Ham menjemput ajal.

Bing Nio meninggalkan Oei Tiong Ham menyusul Hui Lan yang tinggal di London. Sementara Oei Tiong Ham bersama Lucy Ho menetap di Singapura. Seperti yang ditulis Hui Lan,  Oei Tiong Ham keluar dari Jawa untuk menghindari pajak. Lucy Ho gundik yang penuh pengabdian. Ia mengurusi keuangan dengan cermat dan ia memberi anak kepada Oei Tiong Ham setiap tahun.

Anak laki lakinya banyak. Tetapi setelah tinggal dengan Lucy Ho, Oei Tiong Ham berubah, meskipun uangnya masih  banyak, dia tak lagi hidup bermewah-mewah.

Suatu ketika, anak laki-laki Lucy Ho bertemu dengan anak perempuan Tjong Swan (Saudara Hui Lan lain ibu) di New York. Mereka jatuh cinta, tetapi tidak diperkenankan menikah oleh hukum AS, sebab ayah si pemuda adalah kakek si gadis. Mereka akhirnya menikah juga di Belanda.

Oei Tiong Ham juga memiliki gundik seorang janda yang dulu menolongnya dari aksi bunuh diri. Janda itu bernama Ny. Kiam. Dia membawa serta adik perempuannya yang berumur sepuluh tahun dan anak perempuannya yang berumur tiga tahun.

Ny. Kiam tak memberi keturunan untuk Oei Tiong Ham, maka ketika adik yang dibawanya itu beranjak dewasa, Oei Tiong Ham menjadikannya gundik pula. Dari perempuan itu Oei Tiong Ham punya lima anak laki laki dan empat anak perempuan.

Dari seluruh anak si gundik itu, Oei Tiong Ham lebih menyenangi putra yang kedua yakni Tjong Swan untuk menjadi andalannya dalam berbisnis. Tentu saja selain si Tjong Hauw, anak laki-lakinya yang lain dari gundik yang lain.

Dan dari semua saudara lain ibu, hanya Tjong Swan dan Tjong Hauw yang dekat dengan Hui Lan. Menurut Hui Lan, Oei Tiong Ham punya tiga anak yang disayanginya yakni dirinya, Tjong Swan dan Tjong Hauw.

Pesta Dansa Yang Gagal

Rumah keluarga Oei Tiong Ham di Semarang sangat luas. Kurang lebih berdiri diatas lahan 93 hektar. Rumahnya dirancang dengan gaya arsitektur China. Ada kolam ikan dan jembatan-jembatan. Untuk mengurusi kebun yang luas, keluarga Oei Tiong Ham mempekerjakan lima puluh orang.

Di rumah besar itu terdapat tiga buah dapur yang fungsinya berbeda. Yang pertama dapur untuk ibunya Hui Lan dengan koki ahli masakan Indonesia. Ibunya Hui Lan memang menyukai masakan Indonesia. Sementara dapur yang lain adalah dapurnya Oei Tiong Ham yang dikendalikan oleh koki-koki ahli masakan Eropa. Koki-koki tersebut umumnya adalah koki-koki bekas para Gubernur Jenderal Belanda.  Kebetulan Oei Tiong Ham menyukai masakan Eropa selain masakan China. Sementara dapur yang satu lagi untuk para pekerja di rumah besar tersebut yang mempekerjakan dua koki Tionghoa.

Di belakang ada rumah untuk Nona Jones, guru pribadi Bahasa Inggris keluarga Oei Tiong Ham. Lalu ada rumah untuk tukang pijit, dan tukang cuci pakaian. Sementara untuk para tamu yang menginap, disediakan dua paviliun.

Di rumah itu, Oei Tiong Ham sering mengundang tamu-tamu penting, Termasuk Raja Siam (Thailand). Mereka juga pernah diundang makan di kediaman Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Saat usia Hui Lan 15 tahun, Hui Lan ingin menggelar pesta dansa bergaya Inggris seperti yang dia baca di The Tatler. Karena anak kesayangan dan dianggap membawa hoki, Oei Tiong Ham meluluskan keinginan Hui Lan. Oei Tiong Ham lalu menyewa 16 pemain musik yang dulu disewanya untuk perjamuan Raja Thailand. Oei Tiong Ham juga mengundang para rekanan bisnisnya untuk untuk mendatangkan anak-anak mereka ke pesta Hui Lan.

Tapi sayang, saat hari pesta tiba, tak ada satupun tamu yang datang. Oei Tiong Ham marah besar kepada para rekan-rekan bisnisnya. Mendengar seorang pengusaha sukses sekelas Oei Tiong Ham, pengacaranya Baron van Heeckeren,  Gubernur Jenderal Belanda ketika itu,  sampai mengusahakan agar putri-putrinya mengadakan pesta dansa untuk menghormati Hui Lan. Tapi Hui lan juga terlanjur sakit hati. Dia pun tak datang.

Meninggalkan Semarang

Hui Lan meninggalkan Semarang saat berusia 16 tahun. Keluarga mereka berpisah. Ayahnya bersama Lucy Ho menetap di Singapura. Bing Nio dan dua anaknya Tjo Lan dan Hui Lan memilih ke Inggris.

Kepindahannya ayahnya karena pemerintah Hindia Belanda menekannya untuk menjual perkebunan tebunya dengan harga AS$ 70 juta. Oei Tiong Ham lalu mempercayakan perusahaannya di Jawa kepada putra-putranya yang terpilih yakni Tjong Swan dan Tjong Hauw.

Di Ibukota Inggris, Hui Lan dan ibunya tinggal di Brooke Street. Mereka juga punya rumah lain di Wimbledon yang luas lahannya hampir tiga hektar. Bing Nio punya sebuah Roll Royce, lengkap dengan sopir dan footman yang bertugas membukakan pintu mobil.

Sementara kakak iparnya, Ting Liang suaminya Tjo Lan,  punya mobil Daimler dan Fiat.

Selama tinggal di London, Ting Liang yang mengurus keperluan mereka. Ting Liang bertugas membayar seluruh tagihan dan pengeluaran termasuk berbelanja keperluan sehari-hari. Seluruh tagihan itu dilaporkan ke salah satu kantor Oei Tiong Ham di Mincing Lane.

Suatu ketika Hui Lan pernah bersitegang dengan Ting Liang karena dia tak mau membayar beberapa tagihan milik Hui Lan. Menurut Ting Liang, uang saku yang diberikan Oei Tiong Ham sudah cukup. Tapi Hui Lan mengatakan 400 poundsterling per tahun yang diterima dari ayahnya untuk beli baju, kurang. Setiap perdebatan soal uang, Ting Liang kerap kalah dari Hui Lan, karena Oei Tiong Ham pasti  selalu melunasi tagihan Hui Lan.

Suatu hari setelah bertengkar hebat dengan Ting Liang, Hui Lan pindah ke sebuah villa kecil di Curzon street. Seorang pembantu rumah tangga Perancis dan satu orang koki Prancis juga ikut serta. Tapi Ting Liang tidak mau membayar sewa rumah dan gaji pelayan serta koki Hui Lan.

Hui Lan langsung mengirim telegram ke ayahnya di Singapura. Tanpa banyak cincong ayahnya mengirim sejumlah uang dan menambah uang belanja Hui Lan.

Semasa remaja tinggal di London, Hui Lan benar-benar menikmati hidup, dia suka berdansa dan sering datang-datang ke pesta-pesta kaum jetset. Teman-temannya diantaranya Guy Brook yang kemudian menjadi Lord Brook, Sir Oliver duncan  yang kemudian menjadi Earl of Callo dan serta Sir Hugo Cuncliffe Owen.

Tahun 1918 saat berusia 18 tahun, Hui Lan mendapatkan mobil pertamanya bermerk Daimler. Tapi selama di London, Hui Lan mengaku hubunganya dengan Tjong Lan menjadi tak terlalu mulus. Pergaulan Tjong Lan terbatas pada orang orang sekantor ayah mereka atau para relasi bisnis. Hui Lan paham, Tjong Lan dibesarkan di tanah Jawa sehingga tidak mengalami kebebasan seperti Hui Lan semasa mudanya. Padahal Tjong Lan cantik dan jauh lebih pandai daripada dirinya, demikian tulis Hui Lan dalam bukunya.

Bertemu Wellington Koo

Di London, Bing Nio mendapat banyak teman karean dia pandai membuat roti yang enak dan lembut. Suatu hari, tetangga mereka, Marquess of Duferin dan isterinya datang, katanya karena tertarik dengan bau roti yang mampir ke rumah mereka.

Hui Lan menulis, Putri Alice dari Monaco (Mungkin neneknya Pangeran Rainer) juga pernah bertandang karena roti. Sejak itu antara ibunya dan Putri Alice terjalin hubungan akrab. Putri Alice juga sering memberi saran dan kerap mengenalkan Bing Nio dan Hui Lan dengan bangsawan-bangsawan Eropa.

Lalu ketika Tjong Lan dan suaminya pindah ke Paris, suatu ketika dia mengirim telegram pada Bing Nio untuk segera datang ke Paris. Ternyata, salah seorang anggota delegasi pemerintah Cina yang sedang mengadakan pembicaraan perihal perdamaian setelah Perang Dunia I, ingin berkenalan dengan Hui Lan, setelah melihat fotonya di rumah Tjong Lan.

Nama anggota delegasi itu Wellington Koo. Usianya baru 32 tahun dan berotak cerdas.

Wellington Koo adalah seorang duda yang ditinggal mati istrinya. Almarhumah isterinya tak lain adalah anak Jenderal Tang, salah satu petinggi di China dan terkenal.

Wellington Koo adalah wakil China di AS semacam duta besar jaman sekarang. Dia jebolan Columbia University. Dan sebagai kakak, Tjong Lan menganggap sosok Wellington Koo sepadan dengan Hui Lan jika dinikahkan. Ibunya, Bing Nio, juga setuju. Baginya Wellington Koo merupakan calon menantu idaman. Cerdas, berwibawa dan memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh penting.

Hui Lan buta soal politik, sementara Wellington boleh dibilang tokoh yang dihormati di kalangan politisi.

Tapi Hui Lan memang terkesan dengan sosok Wellington Koo, karena dia mendapat fasilitas yang dibayari pemerintah Perancis. Padahal dirinya saja mesti keluar uang untuk membeli mobil dan membayar sopir. Tapi Wellington Koo tidak, semuanya ditanggung pemerintah Perancis selama dia sana sebagai tamu kehormatan.

Hui Lan semakin terkesan ketika mereka berdua pergi menonton opera dan mendapat bangku khusus yang sudah di-booking pemerintah Perancis. Ayahnya saja yang pebisnis sukses belum tentu dapat perlakuan khusus seperti itu.

Bagaimana kelanjutan kisah asmaranya  dengan Welington Koo?

Sejak pertama kali bertemu, Welington Koo beberapa kali menelpon Hui Lan. Tampaknya dia memang menyukai Hui Lan. Dalam sebuah kesempatan ketika Hui Lan sedang merawat diri di salon Elizabeth Arden, Wellington Koo menyambanginya. Karuan saja, Hui Lan merasa tersanjung karena orang terhormat seperti Wellington Koo mau menemui dirinya saat sedang berada di salon seperti itu.

Dilamar Wellington Koo

Beberapa saat berlalu, hubungan Hui Lan dengan Wellington Koo  semakin akrab. Dari segi latar belakang, banyak orang mengakui mereka adalah pasangan yang serasi. Prianya seorang politikus terhormat, wanitanya seorang anak pengusaha sukses dan kaya raya yang bergaya aristokrat.

Dalam sebuah kesempatan mereka pernah bercakap-cakap. Percakapan inilah yang kemudian selalu dikenang oleh Hui Lan karena Wellington Koo memintanya menjadi  istri. Percakapan bermula dari obrolan mengenai orang-orang biasa diundang ke tempat-tempat penting seperti istana.  

Hui Lan berkata bahwa drinya tidak mungkin diundang ke Istana Buckingham, istana Elysee atau Gedung Putih, meski dia orang kaya. Wellington Koo menimpali "Istri saya ikut diundang, kalau saya menghadiri perjamuan resmi di tempat tempat itu,"katanya. "Tentu isterimu kan sudah meninggal," ujar Hui Lan. Wellinton Koo lalu berkata, "Ya, dan saya punya dua orang anak yang masih kecil, yang memerlukan ibu," Hui Lan yang ketika itu baru berumur 19 tahun dan terbiasa berbicara blak-blakan seperti ayahnya langsung bertanya, " Jadi kamu ingin menikah dengan saya,"tanya Hui Lan.

"Ya, dan saya harap kamu mau." jawab Wellington Koo pendek, tanpa menyebutkan apakah dia mencintai Hui Lan  dan sebaliknya. Ketika itu Hui Lan tak langsung menjawab tetapi meminta waktu untuk  berpikir.

Menantu Impian

Bagi Bing Nio, Wellington Koo merupakan menantu impian. Dia sangat ingin Wellington Koo bisa bersanding dengan Hui Lan.  Bing Nio kerap  memuji Welington secara terbuka. Tak terbayangkan betapa bangga dirinya jika menjadi mertuanya Wellington Koo. Soal sikap ibunya ini, Hui Lan pernah berpikir bahwa ibunya lebih cocok buat Wellington daripada dirinya. Menurut Hui Lan, Wellington lahir tahun Babi, cocok dnegan ibunya yang lahir tahun Naga. Sedangkan  Hui Lan lahir di tahun Harimau.

Tjong Lan memberi saran,"Hui Lan, kamu harus menikah dengan Wellington Koo, jangan seperti saya yang bersuamikan orang yang tidak berarti. Ingat, kamu akan menjadi Madame Wellington Koo dan orang akan menyapamu Your Excellency."

Ketika Hui Lan masih dalam keragu-raguan, ibunya sudah tidak sabar. Hui Lan mengungkapkan dirinya belum siap menjadi ibu tiri dari dua anak Wellington. Tapi kata Bing Nio, Hui Lan tak perlu mengasuh sendiri anak-anaknya, kerana mereka sudah punya pengasuh. "Ingat, sekarang masih ada aku yang akan melindungimu, tetapi aku ini berpenyakit diabetes. Kalau aku sudah tidak ada, kamu akan tidak bisa hidup serumah dengan Tjong Lan, karena kamu tidak akur dengan Ting Liang. Kamu tidak akan diperbolehkan hidup sendiri oleh ayahmu. Kamu harus pulang ke ayahmu, padahal Lucy Ho membencimu. Kamu bisa diracuni." kata ibunya seperti ditulis Hui Lan dalam bukunya.
.
Oei Tiong Ham Tak Setuju

Tapi akhirnya Hui Lan memang menerima pinangan Wellington Koo. Segera setelah Hui Lan mau menikah dengan Wellington Koo, Bing Nio mengirim telegram kepada Oei Tiong Ham di Singapura untuk mengabarkan berita ini.

Tapi jawaban Oei Tiong Ham diluar dugaan. Berbeda dengan istrinya, Oei Tiong Ham justru tidak setuju. Alasannya,  mata-mata Oei Tiong Ham menemukan bukti bahwa Wellington Koo pernah menikah dan bercerai di Shanghai, sebelum menikah dengan putri Jenderal Tang.

Dia  lalu membalas telegram dengan bunyi :"Kalian tolol. Kalau Hui Lan dinikahkan dengan Wellington Koo, ia tidak bisa menjadi istrinya, karena Wellington Koo mempunyai istri yang masih hidup di Cina. Mengapa kalian tega berbuat demikian kepada Hui Lan?"

Tapi Bing Nio bergeming.  Soal itu, Bing Nio sudah diberitahu oleh Wellington bahwa semasa kanak kanak ia sudah dijodohkan dengan putri tabib yang menyembuhkannya dari penyakit berat. Waktu pulang liburan dari Amerika Serikat tahun 1908, ibu dan kakak laki lakinya mengirimkan tandu merah kepada putri tabib itu.

Wellington yang lahir 1887 dengan taat membawa gadis desa yang tidak terpelajar ke New York. Istrinya kemudian meminta dipulangkan karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di sana. Diadakanlah rapat keluarga yang memutuskan mereka bercerai. Masa itu perceraian diakui kalau direstui orang tua.

Kemudian Wellington menikah dengan gadis berpendidikan barat, putri Tang Shao Yi, tangan kanan Presiden Yuan Shih Kai. Setelah mendapat gelar master dari Columbus dan lulus dari sekolah hukum di Yale, Wellington Koo kembali ke Cina untuk menjadi sekretaris dan penerjemah bagi Yuan di Beijing.

Wellington Koo berasal dari keluarga yang tidak kaya tidak pula miskin. Mereka termasuk kuno. Kaki ibunya masih diikat dan ibunya itu hanya bisa berbahasa Cina dialek Shanghai, serta tidak pernah pergi jauh dari rumah. Ketika bersekolah di Amerika Serikat, Wellington hanya bisa tinggal di asrama murah dan hidup sederhana sekali.

Pendek kata, akhirnya Wellington Koo dan Hui Lan menikah juga. Pertunangan mereka diumumkan di Hotel Ritz di Paris, sedangkan pernikahannya diselenggarakan di Kedutaan besar China di Brussels, Belgia.

Saat hari pernikahan, hanya Bing Nio yang hadir,  Tjong Lan dan suaminya Tiang Liang tak bisa hadir karena sakit. Sementara dari keluarga Wellinton Koo juga tidak ada yang hadir karena perlu waktu lama menempuh perjalanan laut dari China ke Eropa.

Pernikahan harus dilangsungkan sebelum Wellington menggantikan Alfred Tse sebagai Minister (Jabatan yang lebih rendah dari duta) Cina di London.

Hui Lan mengungkapkan, menerima hadiah pernikahan dari ibunya berupa sebuah Rolls-Royce dengan seragam sopir yang dibuat di Dunhill. Ibunya  juga menghadiahkan peralatan makan dari perak yang waktu itu harganya sekitar 10.000 poundsterling.  Sarung bantal tempat tidur mereka diberi kancing yang berhiaskan intan.

Cintanya Hanya Untuk China

Seusai menikah, mereka kembali ke hotel. Sebagaimana layaknya pengantin baru, Hui Lan bermaskud menyenangkan suaminya dengan mengganti pakaian pengantinnya dengan pakaian negligee yang seksi. Tapi ternyata Wellinton tak memperhatikan dirinya, dia malah sibuk bekerja dikelilingi empat sekretarisnya. Jadi saya duduk saja menunggunya.

Malam itu juga mereka harus berangkat dengan kereta api ke Jenewa, Swiss, untuk menghadiri pembukaan Liga Bangsa-Bangsa (Kemudian menjadi PBB). Wellington Koo adalah ketua delegasi China.

Sejak itu mulai ada perasaan yang lain di hati Hui Lan, melihat begitu sibuknya Wellinton Koo.  Perhatian Wellington Koo hanya untuk Cina. Ia memang orang yang diperlukan oleh Cina, tetapi bukan suami yang tepat untuk Hui  Lain, tutur Hui Lan  dalam bukunya.

Otaknya cemerlang, tetapi ia tidak mampu bersikap mesra dan menunjukkan kelembutan kepada istrinya sendiri.

Sore itu, sebelum berangkat untuk menghadiri resepsi pernikahan yang diadakan bagi mereka oleh wakil Chna untuk Spanyol yang khusus datang dengan istrinya. Pesta resmi itu dihadiri pejabat-pejabat Perancis, Belgia, dsb.  Bing Nio yang ikut ikut bersama mereka tampak bangga sekali ketika mereka disambut dengan karangan bunga yang besar setibanya di stasiun.

Mereka mendapatkan kamar suite yang megah. di hotel Beau Rivage yang menghadap ke danau. Tapi belum lama mereka tiba di hotel, Wellington Koo langsung dijemput sekretarisnya untuk segera menggelar berbagai rapat. Daripada bosan menunggu suaminya rapat, akhirnya Hui Lan memutuskan pergi berbelanja bersama ibunya sambil menikmati keindahan kota Jenewa.

Suatu kali, Hui Lan pernah kaget dan tersinggung ketika Wellington dan Wang, sekretarisnya,  mengatur tempat duduk tamu di perjamuan yang mereka adakan. Ketersinggungan Hui Lan, selain Wellington tak mengajak berdiskusi, juga lantaran dirinya ditempatkan di tengah tempat duduk orang-orang yang menurut Hui lan membosankan.

Dan tanpa sepengetahuan Wellington, Hui Lan mengatur kembali letak kartu-kartu  di meja perjamuan.  Beberapa saat kemudian, saat sedang berdandan, tahu-tahu Wellington datang dan menegur Hui Lan. Begini katanya, "Hui Lan, ini bukan pesta pribadimu, kamu menjamu mewakili Cina, sehingga para tamu harus didudukkan sesuai dengan tingkatan mereka, agar tidak ada seorangpun yang merasa terhina atau hilang muka." ujar Wellington.

Tapi sejak saat itu, Hui Lan jadi banyak belajar soal protokol. Belakangan dia malah sangat ahli dalam mengatur tempat duduk para tamu, sehingga tugas itu diserahkan kepadanya.

Tampak serasi padahal tidak sejalan

Waktu demi waktu berlalu. Hui Lan sebagai istri seorang pejabat China dipanggil dengan sebutan terhormat Madame atau Your Excellency,  begitu juga dengan Bing No ibunya. Hui Lan masih ingat ketika pertama kali ke Istana Buckingham yaitu saat suaminya menyerahkan surat-surat kepercayaan kepada Raja George V dan Permaisuri Mary.

Putri Alice yang sebelumnya sudah mengajarinya tatacara di kerajaan, yaitu cara wanita memberi hormat kepada keluarga raja. Termasuk pesannya supaya jangan berbicara kalau tidak ditanya. Sekeluar dari istana, suaminya berkomentar,"Kita ini memang pasangan yang hebat," katanya.

Dari luar memang Welllington dan Hui Lan seperti pasangan yang serasi dan matang, padahal Hui Lan merasa pernikahan mereka tidak berjalan dengan mulus.

Orang memang mengagumi kecerdasan Wellinton. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa mereka cuma negara kelas dua, sebab masa itu China bukan negara yang kuat. Kekuatan-kekuatan besar dunia cuma mengirimkan wakil setingkat minister ke Beijing, bukan duta besar.

Suatu kali dengan bergurau Hui Lan berkata pada Wellington,"Saya tidak ingin seumur hidup menjadi istri Minister, Kapan kamu menjadi dubes?". Mendengar itu Wellinton jengkel."Kalau kamu tidak puas dengan keadaanmu sekarang, kapan pun kamu tidak akan puas. Saya tidak bisa mendapat kedudukan lebih tinggi lagi dari ini, minister untuk Istana Saint James!" katanya ketus.

Pada tanggal 30 Januari 1922, putra mereka lahir di Washington. Ketika itu Wellington sedang menghadiri konferensi pembatasan senjata yang juga membicarakan nasib Shantung di tangan Inggris.

Putra mereka diberi nama Kai Yuen yang berarti "zaman baru". Namun nama resmi putra kami itu Yu Chang yang diberi oleh abang sulung Wellington. Namun orang-orang lebih senang memanggil dengan nama Wellington Junior. Akhirnya sejak kecil mereka memanggilnya Junior saja.

Bertemu Dengan Ayah Lagi

Pada  tahun 1916,  keadaan China kacau. Presiden Yuan Shih Kai meninggal tidak lama setelah berusaha menjadikan dirinya kaisar. Penggantinya lemah, Wellington yang sudah tujuh tahun meninggalkan China dipanggil pulang.

Dalam perjalanan ke China dengan S.S. Khyber mereka singgah di Singapura. Disanalah Hui lan mendapat kejutan yang tak disangka-sangka, yakni Ayahnya, Oei tiong ham datang menemui dirinya di atas kapal. Segera saja Hui Lan mengenalkan Wellington dengan Ayahnya. Itulah pertemuan pertama antara Oei Tiong Ham dengan menantunya sendiri.
   
Saat masih bersandar di Singapura itu, Hui Lan sempat diajak Ayahnya untuk mendarat untuk mengunjungi rumah yang selama ini ditinggalinya bersama Lucy Ho.

Sesampainya disana, Hui Lan heran, karena ayahnya yang glamour sudah jauh berubah. Hui Lan mendapati di rumah itu sama sekali tak ada air ledeng atau WC duduk. Sungguh jauh dari ciri-ciri kemegahan yang dulu dimiliki ayahnya. Bahkan ayahnya tak punya pelayan pribadi. Oei Tiong Ham sama sekali tak menjawab pertanyaan Hui Lan mengapa dirinya  menjadi hidup sederhana seperti itu.

Namun Oei Tiong Ham menjelaskan bisnisnya berjalan seperti biasa, Hauw maupun Swan bisa diandalkan. Kantor ayahnya di Singapura pun berjalan dengan baik, tetapi ia jarang ke sana.

Ayahnya juga  meminta Hui Lan supaya tak perlu khawatir. Kata Oei Tiong Ham,  neraca keuanganya bahkan lebih beres, karena ditangani sendiri oleh Lucy Ho. Memang berlainan dengan gundiknya yang lain . Lucy Ho cukup terpelajar dan pintar.

Tapi Hui lan tetap  tetap khawatir.  Dia tahu tidak semua istri setia. Mengapa Lucy Ho membiarkan dirinya terikat pada pria yang menghamilinya setiap tahun ? Hui Lan  memperingatkan ayahnya agar jangan mencampuradukkan seks dengan bisnis. Tapi oei Tiong Ham tertawa, "Kamu dan ibumu akan jauh lebih kaya, kalau pemasukan dan pengeluaran uang kalian seperti Lucy Ho," katanya.

Tapi Hui Lan kemudian membalas, "Buat apa saya repot-repot mengurusi neraca dan menelusuri kemana uang saya kalau saya mempunyai ayah seperti ini?".

Saat kembali ke kapal, tak lupa Oei Tiong Ham menjejalkan lembaran dollar AS yang jumlahnya lebih dari US$ 50.000 ke dalam tas Hui Lan.

Setelah mengucap salam dan mennyarankan ayahnya supaya membeli mobil dan membuat WC duduk serta air ledeng. Oei Hui Lan dan Wellington Koo meneruskan perjalanan ke China.  

Sesampainya di Shanghai mereka disambut meriah. Di Shanghai mereka sempat tinggal di rumah yang disewa oleh kakak sulung Wellington Koo untuk mereka. Tapi Hui Lan tak suka, karena selain ukurannya terlalu kecil, tak ada ledeng dan WC duduk pula.

Akhirnya mereka pindah ke hotel untuk beberapa waktu. Wellington Koo menurut Hui Lan sebetulnya tak setuju. Dia tak ingin menyinggung perasaan kakaknya yang sudah repot-repot menyewakan rumah. Tapi Hui Lan bergeming.

Beberapa waktu kemudian mereka membeli sebuah istana di Beijing, tentu saja dari uang pemberian Oei Tiong Ham, karena gaji Wellington tak mungkin mencukupi kebutuhan Hui Lan.  Istana itu dijual murah oleh pemiliknya, US$ 100,000, karena ia takut disita oleh pemerintah. Istana itu dibangun Kaisar pada abad XVII untuk seorang gundik yang paling dicintainya. Di istana itulah kemudian presiden China pertama Dr. Sun Yat Sen meninggal tahun 1925. Hui Lan menghabiskan dana tambahan sekitar US$ 150,000 lagi untuk memperbaiki istana itu. Di istana itu pula putra kedua Hui Lan lahir tanggal 24 Juli 1923 malam.

Oei Tiong Ham meninggal

Setelah tinggal di China, Hui Lan masih sempat beberapa kali mengunjungi Singapura menemui Ayahnya.  Suatu ketika Hui Lan mendapat undangan jamuan makan dengan Gubernur Jenderal Singapura, ayahnya  yang melihat Hui Lan datang ke Singapura dengan perhiasan seadanya, langsung ke kamar dan setelah itu melemparkan setumpuk perhiasan intan yang besarnya berpuluh puluh karat ke pangkuan Hui Lan.

Yang diundang dalam perjamuan itu semuanya orang Inggris kecuali Hui Lan dan Sir Robert Ho tung dari Hong Kong.  Hui Lan mengajak ayahnya. Ayahnya  tidak paham bahasa Inggris dan ingin duduk di sebelahnya Hui Lan. Setelah dijelaskan kepada ajudan Gubernur Jenderal, akhirnya jamuan makan malan itu berlangsung lancar. Oei Tiong Ham duduk disebelah Hui Lan.

Hui Lan mengaku masih sekali lagi bertemu Oei Tiong Ham ketika Hui Lan datang ke Singapura untuk melihat pembangunan villa miliknya yang memasuki tahap akhir. Pada waktu itulah Oei Tiong Ham diramal oleh seorang India. Kata orang itu, akan ada musuh yang meracuni Oei Tiong Ham.  

Hui Lan khawatir dan mengajak ayahnya meninggalkan Singapura. Tapi Oei Tiong Ham menolak, saat perpisahan di pelabuhan, Oei Tiong Ham  sempat berkata pada Hui Lan, "Hui Lan, aku lelah.".

Hui Lan merasa sedih mendengar perkataan Ayahnya. Hui Lan sama sekali tak menyangka bahwa kalimat itu adalah perkataan terakhir dari Oei Tiong Ham untuk dirinya.

Setelah tiga bulan, Hui Lan menerima kawat dari Tjong Swan.  Oei Tiong Ham meninggal dunia.  Kabar yang dia terima, ayahnya meninggal mendadak akibat serangan jantung pada 6 Juni 1924.  

Bagi Hui Lan, inilah awal masa suram kehidupannya. Hui Lan merasa sangat kehilangan. Sosok Oei Tiong Ham baginya juga sebagai pelindung. Selama ayahnya hidup, Hui Lan bukan Cuma merasa aman dari segi keuangan, tetapi juga selama ada Oei Tiong Ham, tidak seorang pun berani berbuat jahat terhadap Hui Lan dan keluarganya.

Ibunya, Bing Nio, menolak menghadiri pemakaman Oei Tiong Ham. Akhirnya ditemani Wang, sekretaris sekaligus kepala rumah tangga (majordomo) dan seorang pelayan perempuan, Hui Lan berangkat ke Singapura.

Sampai di Singapura, peti jenazah Oei Tiong Ham sudah ditutup. Saat itu banyak orang-orang yang tak dikenal Hui Lan datang. Mereka adalah teman-teman Lucy Ho. Hui Lan menyadari bahwa dirinya sekarang orang luar.

Hui Lan meminta agar jenazah ayahnya diotopsi, apalagi dia ingat betul perkataan peramal yang meramalkan ayahnya akan tewas diracun. Hui Lan curiga Lucy Ho meracuninya.  Namun menurut penasihat hukum di Singapura, sebagai anak perempuan almarhum Hui Lan tidak berhak meminta otopsi, kecuali ibunya, Bing Nio.

Diputuskan jenazah Oei Tiong Ham akan dimakamkan di Semarang.  Dua anak Oei Tiong  Ham yang dipercaya yakni Tjong Wan dan Tjong Hauw yang mengatur semuanya.  Jenazah lalu diangkut menggunakan kapal ke Semarang.  

Di Semarang, prosesi pemakaman Oei Tiong Ham dilakukan tanpa biksu. Hui Lan  sebagai anak istri sah, duduk di kereta pertama pengiring kereta jenazah . Swan, Hauw , dan para putra Oei Tiong Ham dari gundik-gundiknya berjalan di belakang mereka.  

Pembagian Warisan

Oei Tiong Ham meninggalkan warisan cukup banyak.  Hui Lan mendapatkan warisan yang dijanjikan ayahnya.  Ibunya mendapat beberapa juta dollar.  Kakaknya, Tjong Lan mendapat satu juta dollar. Sementara perusahaan peninggalan Oei Tiong Ham dibagi tiga antara  Tjong Hauw, Tjong Swan dan Lucy Ho.  Belakangan Tjong Swan menjual bagiannya itu kepada Lucy Ho dan pindah ke Belanda.

Lucy Ho sendiri menurut kabar yang didengar Hui Lan, meninggal di Swiss akibat kanker. Swan meninggal akibat infeksi gigi yang ditelantarkan. Sementara  Hauw  meninggal di Jakarta karena serangan jantung tahun 1951.

Bisnis Oei Tiong Ham di Jawa lalu diambil alih Jepang dan sisanya kemudian diambil oleh pemerintah Soekarno.

Menjadi Dubes  AS

Dua belas tahun kemudian, tepatnya  tahun 1936,  Wellington diangkat menjadi dubes China pertama untuk Prancis.  Hui Lan menulis dalam bukunya bahwa saat menuju Paris, dirinya meninggalkan banyak harta benda di China.  Hui Lan juga juga meninggalkan perhiasan almarhumah isteri pertama Wellington di sebuah bank di Shanghai, dengan maksud akan diberikan kepada putri mereka, Pat, kalau Pat sudah dewasa.

Waktu itu mereka tak berpikir bahwa akhirnya semua ternyata akan amblas oleh pemerintah komunis China.

Tujuh tahun menjadi dubes China untuk Perancis, Wellington pindah tugas menjadi Dubes di London tahun 1943.  Hui Lan mengaku berteman baik dengan Menteri Luar Negeri Anthony Eden dan pernah dijamu oleh PM Churchill, kemudian juga oleh PM Attlee. Bahkan mereka pernah diundang jamuan makan oleh Ibu Suri Mary yang  kemudian mereka balas dengan menjamunya di kantor kedubes China Di London.

Selama menjadi istri dubes, mereka bisa mengadakan perjamuan mewah semacam itu berkat warisan Oei Tiong Ham karena gaji Wellington yang 'cuma' US$ 600 sebulan.

Selama di London itu pula Hui Lan berteman baik dengan Joseph Kennedy, Jr yang kemudian tewas dalam perang.  Semasa perang dunia kedua, Hui Lan juga ikut menjadi sukarelawan Palang Merah Inggris di bawah Edwina Mountbatten.

Karier Wellington terus menanjak, tahun 1946 Wellington menjadi dubes China untuk sebuah negara besar yang kala itu memenangi perang dunia kedua, Amerika Serikat.

Kantor kedubes China di Washington sebelumnya adalah rumah milik penemu telepon Alexander Graham Bell. Tetangga sebelah mereka juga adalah seorang konglomerat AS yang kaya raya, Marjorie Merriweather Post.  Mereka kerap diundang jika Marjoie mengadakan pesta.

Kemudian Madame Chiang Kai Shek (isteri presiden Cina Nasionalis) juga pernah menjadi tamu di kediaman mereka. Oleh karena suaminya tidak bisa berbahasa Inggris, pemerintah China mengutus madame Chiang yang mendapat pendidikan di AS untuk berpidato di hadapan kongres.

Mereka juga berhubungan baik dengan wakil presiden Richard M. Nixon dan isterinya yang bijaksana itu. Dan sebagai duta besar, Wellington sering diundang dalam acara-acara penting dan formal pemerintah AS. Tentunya Hui Lan juga turut serta. Mereka sempat menghadiri upacara pelantikan presiden Harry S. Truman dan Presiden Dwight D. Eisenhower.

Bing Nio untuk beberepa saat pernah tinggal bersama mereka di Washington, tapi kemudian meninggal akibat kanker di sebuah rumah sakit di New York.  Hui Lan menuturkan dia sangat merasa kehilangan ibunya untuk waktu yang lama.

Akhir Dari Semuanya

Tahun 1956, setelah bertugas di Washington selama sepuluh tahun, Wellington ditarik pulang. Ketika itu pemerintah China sudah terbagi dua, Taiwan dan China Daratan, antara nasionalis dan komunis.  

Hui Lan memilih tetap tinggal di AS. Dia menyewa sebuah apartemen di Sutton Palace, New York. Anak tirinya, Pat sering datang menemani  Hui Lan mengobrol dan untuk mengajarinya memasak. Di apartemen itu Hui Lan tinggal bersama dua anjing peking kesayangannya.  Karena Wang ikut Wellington ke China, dua pelayannya  memilih bekerja di tempat lain sementara koki mereka membuka restoran.

Suatu kali Hui Lan mengalami peristiwa naas. Seusai pulang dari mengajak jalan-jalan anjingnya, Hui Lan disergap perampok. Dua perampok  bule itu mengikat tangan dan kaki Hui Lan.  Perampok itu berhasil membawa lari perhiasan Hui Lan yang nilainya kira-kira seperempat juta dollar.

Setelah perang usai, sulit sekali mengurus rumah rumah kami di pelbagai tempat di eropa. Dengan susah payah berhasil juga saya menjualnya, walaupun dengan harga murah. Saya mengagumi Ny. Kung, seorang Methodist yang tabah. Ia menghibur saya, "Apa pun milik kita yang hilang, jika Anda mencintai Tuhan, Anda tidak akan terpengaruh."

Sejak itu Hui Lan mengaku jarang menjamu dan enggan menghadiri perjamuan.  Hui lan masih beruntung karena  anak tirinya Pat, dan anak-anaknya patuh terhadap dirinya. Putra sulungnya,  berhasil menjadi anggota tentara Angkatan Udara Nasionalis dan berada di Taiwan. Tjong Lan meninggal di New York tahun 1970. Suaminya meninggal setahun sebelumnya.

Hui Lan juga merasa memiliki pertalian emosional dengan Indonesia, tempat dia dilahirkan dan menghabiskan masa kecil. Oleh karena itu, tahun 1968 Hui Lan pernah mencoba berbisnis di Indonesia tetapi bisnis itu gagal.

Di penghujung usianya, Hui Lan menyadari berkenalan dengan kaum ningrat dan orang berduit tidaklah penting. "Otak dan kepribadianlah lebih penting. Kita bisa menderita akibat haus kekuasaan, tetapi kita bisa mendapat kesenangan dari sikap hormat, kesederhanaan dan sifat lurus. Kita seharusnya menghargai orang-orang lain dan hidup ini," tulis Hui Lan.

Nama Jalan di Singapura

Hui Lan sendiri meninggal dunia tahun 1992, di Amerika. Menurut catatan redaksi majalah Intisari berjudul "Pelangi Cina di Indonesia", Hui Lan masih sempat menulis kata pendahuluan untuk buku Raja Gula Oei Tiong Ham yang ditulis Liem Tjwan Ling, pada Maret 1978.

Sementara nasib benda-benda peninggalan Oei Tiong Ham di Semarang sudah sulit dilacak. Rumahnya di Jalan Gergaji, Semarang sekarang dijadikan tempat kursus bahasa asing dan komputer, milik keluarga Hoo Liong Tiauw pemilik pabrik plastik Polyplast.

Tjwan Ling Liem, penulis buku "Raja Gula Oei Tiong Ham" (Surabaya, 1979) menulis terjadi pengambil alihan aset Oei Tiong Ham di Semarang oleh pemerintah.  Lalu sekitar tahun 1975-an, pemakaman Oei Tiong Ham dibongkar, tulang belulangnya di bawa ke Singapura dan diabukan disana. Nama Oei Tiong Ham kemudian diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Singapura.

Dari penelusuran Kabari,  kongsi dagang Kiang Gwan atau Oein Tiong Ham Concern diambil alih pemerintah pada tahun 1961 melalui keputusan Pengadilan Ekonomi Semarang No. 32/1561 EK.S tanggal 10 Juli 1961 yang lalu diperkuat dengan Keputusan Mahkamah Agung RI No.5/Kr/K/1963 tanggal 27 April 1963.

Perusahan itu berganti nama menjadi PT. Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional (PPEN) Rajawali Nusantara Indonesia tahun 1964. Lalu berubah lagi menjadi PIE Rajawali Nusindo (1971),  dan PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) pada tahun 2001.

PT. RNI kemudian memiliki beberapa anak perushaan, salah satu PT Rajawali Nusindo yang kemudian memiliki anak perusahaan lagi, yaitu PT. Putra Rajawali Banjaran (PRB).

Sekedar informasi terkait berita hangat saat ini, di PT. PRB inilah Alm. Nasrudin yang tewas ditembak--kemudian diduga melibatkan ketua Non Aktif KPK Antasari Azhar--duduk sebagai direktur utama.  (Yayat Suratmo/sumber: Intisari, Pelangi Cina di Indonesia dan berbagai sumber lainnya)

* * * * *

Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah. (Lukas 12:21)

Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.  (Mazmur 90:10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar