Kamis, 21 Februari 2013

MENEMBUS KARANG KERAGUAN, MERUNTUHKAN TEMBOK PEMISAH


( Keluaran 17 : 1-7, Mazmur 95, Roma 5 : 1-11, Yohanes 4 : 5-42 )

Dunia mengenal Nelson Mandela, seorang manusia luar biasa yang lahir dari rahim bumi Afrika. Kekaguman dunia kepada sosok ini semakin kental, ketika di saat bebas dari penjara dan kemudian menjadi presiden, Nelson Mandela memaafkan semua penyiksanya. Meskipun selama 27 tahun ia mengalami penghinaan, kekejaman dan aniaya yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, namun di saat bebas, hal pertama yang dilakukan adalah mencari pegawai penjara yang menyiksanya dan kemudian mengulurkan maaf.

Bangsa Jepang dilanda bencana beruntun : gempa, tsunami dan ancaman nuklir. Dunia menyaksikan bahwa dalam situasi sulit seperti itu, Pemerintah Jepang dan warganya bahu membahu menghadapi bencana tersebut dengan sikap yang dikenal sebagai gambaru, yaitu berjuang dengan segala daya dan upaya ( sabar, tekun, fokus pada sasaran, penuh semangat dan antusiasme ) untuk mencapai yang terbaik.

Mengapa Nelson Mandela mampu menunjukkan sikap yang penuh belas kasihan walaupun telah dianiaya? Mengapa bangsa Jepang tidak terjebak dalam sikap mengasihani diri sendiri, bahkan mampu membuktikan sebagai bangsa yang kuat dan beretika?

Buku Dian Penuntun – Rancangan Khotbah Leksionari – memilih judul di atas sebagai tema, dengan tujuan agar kita selaku umat percaya meyakini pertolongan Allah, selalu berdamai dengan-Nya, serta berani membangun dialog dan hidup bersama dengan sesama. Kita diingatkan, bagaimana seharusnya kita 'memperlakukan' Allah sebagai Sang Pemelihara umat. Allah yang tak pernah berubah sejak dahulu kala sampai selama-lamanya. Bahkan melalui peristiwa penyelamatan, Allah menunjukkan bahwa kepedulian-Nya kepada dunia ini pun sudah dinyatakan secara utuh, lengkap dan sempurna, melalui kesediaan-Nya lahir menjadi manusia, melalui kerelaan-Nya menderita hingga wafat di kayu salib, dan melalui kuasa-Nya untuk bangkit dari kematian. Namun harus diakui, dalam kenyataan hidup hari lepas hari, kita mudah melupakan kasih setia Allah yang luar biasa itu, bahkan tak segan mendukakan hati-Nya melalui keraguan dan kedegilan kita.

Kemarahan dan sikap kasar yang ditunjukkan oleh Bani Israel di Rafidim ( Keluaran 17 : 1-7 ) merupakan contoh betapa manusia seringkali mudah memberontak, tidak mau mendengar nasihat dan tidak taat. Seperti Bani Israel yang menjawab 'ya' ketika dituntun Tuhan untuk ke luar dari perbudakan di Mesir, kita pun menjawab 'ya' saat Tuhan bertanya apakah kita bersedia mengikuti Dia. Namun, kata 'ya' itu acapkali hanya berlaku di saat semuanya berjalan lancar. Ketika kesulitan dan masalah datang menghampiri, manusia cenderung melupakan semua kebaikan Allah, bahkan menyikapinya dengan membangun karang keraguan, sekaligus tembok pemisah, baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama manusia.

Puji Tuhan, kita boleh memiliki Tuhan Yesus sebagai Juruselamat umat manusia, yang telah mengisi masa pelayanan-Nya di dunia dengan senantiasa membangun dialog, mendobrak tembok pemisah dan membawa orang kepada pertobatan. Laksana sumber air kehidupan yang terus memancar, Dia menghendaki agar hati kita pun diisi oleh 'air hidup' itu sehingga mampu memelihara perdamaian dengan Allah dan sesama manusia. Percakapan yang terjadi antara Tuhan Yesus dengan wanita berdosa di Sikher ( Yohanes 4 : 5-42 ) menjembatani tembok pemisah yang diciptakan masyarakat saat itu, yaitu adanya permusuhan yang pahit antara Yahudi dan Samaria. Bahkan di akhir perikop tersebut kita disadarkan bahwa kasih Yesus yang besar dan tulus itu berhasil menembus karang dosa sang wanita Sikher, yang kemudian bertobat dan bahkan berani bersaksi kepada orang banyak.

Rasul Paulus juga mengingatkan bahwa selaku orang-orang beriman kita harus mampu bermegah dalam kesengsaraan kita agar kita bertumbuh semakin tekun dan tahan uji sehingga senantiasa berpengharapan di dalam Kristus ( Roma 5 : 1-11 ). Artinya, kita tak boleh lagi menciptakan 'Masa' ( menguji / mencobai Tuhan ) dan 'Meriba' ( bertengkar dan mencari kesalahan sesama ), sekalipun kehidupan kita sedang diterpa masalah. Tuhan sudah berjanji untuk senantiasa menyertai, karena Dia pun tahu bahwa kehidupan ini tak selalu indah laksana pelangi.

Akhirnya, marilah menyadari juga bahwa misi Tuhan Yesus pun bersifat inklusif, yaitu mengasihi mereka yang kaya, miskin, orang saleh maupun orang berdosa, menghancurkan tembok kebencian, membangun jembatan komunikasi dengan melintasi segala sekat. Dengan demikian, masih adakah alasan untuk mempertahankan tembok-tembok pemisah ( contoh : ketakutan, kebencian, ketidakadilan, egoisme dan ‘isme-isme’ lain… ) yang kita buat? Sudahkah hidup kita, termasuk pelayanan melalui gereja, menjangkau semua pihak? Atau justru kita sudah membuat pengotakan berdasarkan standar pribadi kita? Cara pandang dan tolok ukur bisa berbeda, situasi dan kondisi pun tak selalu sama, namun sebagai orang percaya, kita dipersatukan oleh Allah yang satu, yang kita sembah melalui Yesus Kristus Juruselamat dunia.

Saudara, jika lidah kita mengaku bahwa Tuhan adalah Penolong kita, mari bersama Pemazmur kita "bersorak-sorai untuk TUHAN, bersorak-sorak bagi gunung batu keselamatan kita. Sebab TUHAN adalah Allah yang besar, dan Raja yang besar mengatasi segala allah"... ( Mazmur 95 ).
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar