Jumat, 08 Februari 2013

I CAN'T LIVE (IF LIVING IS WITHOUT YOU)


(February 2009 -- http://www.pesta.org/node/1454)

"I can't live .. I can't give anymore .. Can't live .. If living is without you .." adalah lirik lagu yang terkenal dari penyanyi cantik Mariah Carey dalam lagunya Without You yang sangat populer di tahun 1994. Lagu itu menjadi "Song of the Year", baik di Amerika, Kanada, Eropa, Australia, dan sampai di Indonesia tentunya.



"Aku tidak bisa hidup jika tanpamu," merupakan sebuah kalimat yang sangat terkenal di kalangan orang yang sedang jatuh cinta, walaupun semua orang tahu bahwa itu hanya merupakan luapan emosi sesaat pada saat cinta melekat. Padahal dalam kenyataan sehari-hari, orang yang jatuh cinta tetap saja bisa melakukan semua kehidupan dan pekerjaan sehari-hari secara normal, dan hanya teringat pacar pada saat wakuncar (waktu kunjung pacar saja).

Tetapi ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada hal-hal yang begitu penting sehingga tanpa disadari orang berkata dalam hati : "I can't live without you". Salah satu contohnya adalah hape (hand phone).

---

Sekarang ini banyak orang tidak bisa berada jauh-jauh dari hape, apalagi anak-anak muda. Hape sudah menjadi belahan jiwa, dimana pun kapan pun hape harus melekat di badan. Pagi, siang, sore, malam - tidak bisa lepas dari si kotak kecil canggih ini. Orang tidak bisa melangkah keluar rumah tanpa hape di tangan.

Memang hape sekarang sudah bukan hanya sekedar alat komunikasi karena dukungan teknologi elektronika yang begitu maju. Hape sudah memiliki kemampuan yang sangat beragam, mulai dari SMS, jam, kalender, kamera foto, kamera video, radio, TV, videophone, organizer, MP3, MP4, voice recorder, GPS, sampai pada segala fungsi online dalam web seperti email, facebook, webcam, chatting, game online dan apapun yang ada di dalamnya.

Selain semua kemajuan teknologi di dalam hape itu, harganya pun semakin sangat terjangkau - bahkan sekarang ini abang sayur, tukang ojek sampai PRT pun banyak terlihat asyik bertelpon ria memakai hape. Untuk mendeklarasikan kerakyatan dari hape tersebut, salah satu provider hape sampai membuat iklan dengan jargon begini : "Hari gini gak punya henpon?"

Dan percaya atau tidak, ternyata saya menanggapi iklan tersebut dengan jawaban, "Gue banget tuh ..."

Dengan jujur dan terbuka saya katakan bahwa sekarang ini saya tidak punya hape. Terhadap pernyataan itu banyak yang tidak percaya dan bahkan menuduh saya melakukan kebohongan publik yang sangat recehan. "Masak hari gini gak punya hape?"

Sekali lagi dengan setulus hati saya katakan, "Itu benar - tidak bohong." Memang dulu saya punya hape, satu dekade lalu waktu hape hitam besar bentuk pisang pertama kali muncul. Rasanya keren dan gaya, karena termasuk dalam sedikit orang yang menenteng hape ke mana-mana. Kartu perdananya saja harganya tujuh ratus ribuan dan harus inden beberapa bulan, coba bandingkan dengan berbagai kartu perdana yang gratis pada hari ini. Setelah itu saya terus mengikuti perkembangan hape, mulai dari yang ada voice dial sampai yang ada kameranya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa hape itu barang yang penting. Bahkan karena begitu pentingnya, saya tidak bisa meninggalkan rumah tanpa menenteng barang yang satu ini. Ada persaan yang hilang dan was-was saat mengetahui barang mungil ini tidak berada di tangan. Bagaimana kalau ada hal yang penting, bagaimana mana kalau ada musibah dan memerlukan sarana komunikasi, bagaimana ... dan semua bagaimana, membuat saya tidak bisa lepas dari hape. "I can't live without it!" adalah sebuah kenyataan yang betul-betul tidak bisa dipungkiri.

Kesadaran akhirnya muncul, mengapa saya begitu terikat dengan barang yang satu ini? Bukankan saya sudah pernah hidup dari bayi sampai puluhan tahun dengan damai dan penuh sukacita tanpa memiliki hape. Kesadaran itu memunculkan kerinduan untuk mencoba tantangan kembali hidup "back to basic". Back to basic tanpa jiwa dan perasaan terikat, tergantung pada barang moderen itu.

Setelah melalui pergolakan batin yang luar biasa, akhirnya saya memutuskan untuk menutup hape di tahun 2004-an. Pada saat itu saya merasa ada satu bagian jiwa saya yang hilang. Ada perasaan kosong dan was-was yang bekepanjangan. Ada perjuangan berat untuk mengumumkan bahwa saya tidak punya hape lagi, baik terhadap rekan kerja, seluruh keluarga maupun relasi.

Satu bulan terlewati ... dua bulan ... dan satu tahun bisa terlewati dengan baik, dan saya menyadari tetap hidup dengan sehat, nyaman dan tidak kurang satu apa pun. Praise the Lord. Haleluya! Ternyata saya masih bisa hidup tenang tanpa punya hape. Bagi saya pribadi itu adalah prestasi yang luar biasa - sama seperti waktu saya memutuskan untuk berhenti merokok. Adiksi itu telah lenyap - bablas angine! "I can live without it!"

Terus bagaimana caranya saya bisa berkomunikasi jarak jauh? Saya bisa dihubungi di mana saja oleh orang-orang yang dekat. Di kantor ada beberapa telepon statis yang dijaga oleh para "dayang-dayang". Di rumah ada telpon statis dan banyak hape yang dipegang oleh istri, anak-anak sampai pembantu.

Setelah bertahun-tahun lewat dengan hidup tanpa hape, tidak pernah ada hal-hal yang dicemaskan terjadi karena putusnya komunikasi jarak jauh. Bahkan hidup jadi jauh lebih tenang karena tidak lagi diganggu dengan berbagai telpon yang tidak diinginkan, misalnya berbagai promosi atau permintaan kerja sama. Ada para penjaga yang siap "menyeleksi" sambungan komunikasi yang akan saya terima sesuai dengan kepentingannya.

Walaupun di rumah ada banyak hape, tapi saya menekankan kepada seluruh keluarga untuk tidak terikat padanya. Misalnya, anak lupa membawa hape ke sekolah - perasaan kita tetap tenang karena kita percaya bahwa dia akan baik-baik saja dalam perlindungan Tuhan. Hape hanyalah sarana untuk memudahkan komunikasi, tetapi tidak boleh menawan jiwa dan perasaan untuk terikat bergantung padanya.

---

Setelah satu tantangan berat terlewati dengan baik, saya mulai melihat tantangan berikutnya. Dalam hidup saya ternyata ada hal lain yang membuat jiwa merasa tenang dan tenteram jika bersanding dengannya - dan tantangan berikutnya adalah : kartu kredit.

"Hah ... masak mesti ditutup. Bagaimana kalau terjadi apa-apa?" Itu adalah kata-kata spontan istri, waktu saya sampaikan niat untuk menutup semua kartu kredit yang kita punya. Saya hanya katakan, jiwa kita tidak boleh terikat dengan perasaan tenang karena bisa berhutang secara instan. Itu adalah perasaan yang tidak sehat. Kita harus merasa tenang dan nyaman dengan bersyukur terhadap semua berkat yang telah Tuhan berikan. Memang untuk urusan yang satu ini memerlukan diskusi yang berat karena berbagai fasilitas serta kemudahan kartu kredit ini sudah begitu akrab dengan keseharian istri.

Akhirnya dengan berat hati istri menyetujui rencana kedua ini. Satu per satu kartu kredit yang merupakan pajangan di dompet saya maupun istri bisa digunting. Dan sampai pada satu kartu kredit yang sudah kita punyai sedemikian lama. Ternyata ini memerlukan usaha yang sangat besar, karena si provider kartu memberikan berbagai promosi gratis maupun jaminan sampai ratusan juta kepada istri. "Tidak usah dipakai tidak apa-apa bu, yang penting dipertahankan dulu. Khan sayang, sudah puluhan tahun kita kerja sama," kata staf kartu, dan bujukan itu berhasil. Akhirnya untuk satu lembar kartu buatan bank Amrik itu, terpaksa dipertahankan sampai satu tahun lagi secara gratis.

Setelah satu tahun lewat, saya berbicara dari hati ke hati dengan istri - bahwa sepanjang satu tahun tidak ada satu hal luar biasa yang memerlukan gesekan kartu kredit. Segala kebutuhan rumah tangga dan keluarga dapat dipenuhi dengan baik tanpa berhutang. Di luar negeri, untuk urusan hotel dan transportasinya juga selesai dengan kartu debet atau diurus kantor. Itu artinya satu tahun sudah dilewati hanya dengan mempergunakan uang tunai atau kartu debet. Melihat bukti-bukti itu, akhirnya kartu kredit terakhir bisa digunting.

Ternyata untuk menggunting kartu kredit ini kendalanya bukan sekedar masalah finansial, tetapi lebih pada masalah hati. Perasaan tenang dan nyaman di dalam hati, itu yang harus dilawan dengan sepenuh tenaga - tidak bisa hanya dengan logika berpikir tetapi lebih pada keyakinan, bahwa kehidupan akan baik-baik saja dalam pertolongan Tuhan tanpa adanya kartu kredit bertumpuk di dalam dompet.

---

Dua tantangan terlewati dengan sukses dan tantangan ketiga adalah justru hal yang harus saya hadapi sendiri, yaitu asuransi. Selain berbagai asuransi pendidikan maupun pensiun, ada asuransi yang biasa digunakan yaitu asuransi kendaraan.

Karena kondisi lalu lintas yang luar biasa, setahu saya di Jakarta ini tidak ada mobil yang tetap bertahan mulus sepanjang waktu. Walaupun kita berhati-hati, namun ada kalanya satu waktu kita berhadapan dengan orang lain yang sembrono.

Ada satu kejadian, waktu di plaza Senayan petugas keamanan menghubungi kita karena ada kecelakaan. Kita sempat was-was karena mobil sudah diparkir dengan baik. Ternyata ada anak gadis yang parkir mundur dan menabrak sisi depan sebelah kanan. Si gadis rupanya masih belajar dan ketakutan karena membayangkan besarnya biaya yang harus ditanggung. Tapi kita hanya minta dua ratus ribu untuk mengurus klaim asuransi dan itu sangat melegakannya.

Ada lagi satu kejadian mobil ditabrak dari belakang oleh mobil angkutan yang remnya kebablasan. Mobil ditabrak di sisi sebelah kiri belakang. Kemudian kita klaim lagi ke asuransi dan dirapihkan kembali seperti semua.

Beberapa waktu kemudian mobil ditabrak lagi oleh tukang ojek, di sisi kiri sebelah belakang pada tempat yang sama. Saya mulai merasakan ada hal yang aneh, karena selama ini saya tidak pernah bermasalah dengan sisi kiri sebelah belakang - di mana posisi itu selalu mendapat perhatian penuh saat mobil akan belok kiri. Sekali lagi klaim asuransi diajukan untuk memperbaiki bagian itu.

Waktu libur panjang kita pulang kampung ke Semarang sekeluarga memakai mobil dengan mengambil perjalanan pagi. Siang harinya, ketika sampai di pasar Brebes, saat tengah berjalan lurus, tiba-tiba ada mobil sedan tua yang menyenggol mobil, dari sisi sebelah kiri belakang tepat di posisi dua kejadian sebelumnya. Kejadian ketiga ini memaksa saya untuk merenung dalam-dalam, mengapa selalu di tempat yang sama dan selalu karena kecerobohan orang lain.

Akhirnya saya menemukan benang merah dari semua peristiwa yang cukup aneh ini. Ternyata selama ini saya begitu mengandalkan jaminan asuransi yang mudah untuk diurus. Cukup membayar biaya klaim dua ratus ribu maka semuanya akan kembali rapih seperti semula.

Kemudian seperti dua tantangan sebelumnya yang telah terlewati dengan baik, saya akhirnya mencoba mengambil tantangan ketiga yaitu: menutup asuransi mobil maupun semua asuransi yang lain. Kenapa mesti semua asuransi ditutup? Itu karena saya merasa kehidupan menjadi tenang dan masa depan terjamin jika memiliki berbagai asuransi di tangan.

Iman saya berkata bahwa masa depan dijamin oleh Tuhan Yesus, dan itu menjadi tidak berarti jika saya keliru mengartikannya. Melalui kejadian ini saya merasa Tuhan telah menegur secara pribadi, untuk secara nyata berserah padaNya dalam kehidupan sehari-hari. Akhirnya dengan minta ampun pada Tuhan Yesus, saya menutup semua asuransi yang saya miliki - sehingga sekarang ini asuransi saya hanya sama Tuhan Yesus.

Kemudian bagaimana dengan perlindungan mobil? Sekarang, doa bersama-sama di dalam mobil selalu menjadi awal sebelum sebuah perjalanan dimulai. Doa syukur kembali diucapkan pada saat mobil sudah sampai di tujuan atau kembali ke dalam garasi rumah. Selama perjalanan, karena mengetahui mobil tidak dilindungi oleh asuransi, saya selalu meminta Tuhan Yesus sendiri untuk menyertai.

Ternyata perlindungan Tuhan itu sangat ampuh. Keruwetan jalan tidak berubah bahkan bertambah parah. Jumlah kendaraan semakin menyemut dengan perilaku pengemudinya tetap saja ugal-ugalan. Tetapi mulai dari saat saya memutuskan untuk menghentikan asuransi sampai sekarang ini, mobil selalu aman tidak pernah sekali pun terlibat kecelakan di jalan atau pun di tempat parkir. Sekarang ini jika ada yang menawarkan asuransi, saya menjawab, "Asuransi saya sama Tuhan Yesus."

---

Sampai saat ini saya tidak pernah alergi terhadap pekembangan teknologi ataupun berbagai produk finansial. Akan tetapi ada kalanya orang tidak menyadari dan lambat namun pasti menjadi begitu terikat terhadap semua hal itu, sehingga seperti lirik lagu Mariah Carey akhirnya mereka menyerah dan berkata, "I can't live, if living is without you..."

Semua peralatan modern maupun berbagai produk finansial dibuat untuk memudahkan orang menjalani kehidupan, bukan untuk menjadikan orang terikat secara jiwa dan roh pada mereka. Jika itu terjadi, sebaiknya perlu dipikirkan "tantangan" untuk melepaskan diri dari adiksinya.

Seperti orang bebas dari pengaruh nikotin rokok, ikatan jiwa yang tidak disadari terhadap semua materi dan produk-produknya sebetulnya bisa dilepaskan dan tetap menjadikan semuanya itu sebagai pelengkap hidup semata. Jika sudah begitu dengan perasaan nyaman dan tenteram, hati kita bisa berkata, "I can live, even if living is without you..."

Dan tentunya tetap ada satu pengakuan pasti yaitu, "I can't live, if living is without Jesus Lord!"

GBU
Indriatmo

* * * * *

Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun. (1 Korintus 6:12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar